Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang diberlakukan pemerintahan Presiden Donald Trump membangkitkan kembali kekhawatiran investor akan perang dagang global dan memberikan dampak signifikan terhadap pasar keuangan Indonesia. Hal itu terlihat dari pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir mencapai Rp17.000 per US dolar serta tekanan pada pasar saham dan obligasi.

Senior Economist PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Emil Muhamad, mengatakan bahwa ada dua kemungkinan alasan di balik kebijakan ini. Pertama, Pemerintahan Trump diduga ingin menekan yield US Treasury untuk mengurangi biaya pembiayaan utang AS yang akan jatuh tempo besar-besaran pada 2025-2028. Kedua, alasan yang diperkirakan lebih kuat adalah AS berniat mereset kesepakatan dagang dengan berbagai negara untuk mengatasi defisit perdagangan dan meningkatkan lapangan kerja di dalam negeri.

Baca Juga: Daftar Negara Siap Balas Tarif Resiprokal Trump

"Jika dilihat secara tahunan, maturity profile US Treasury (UST) memang akan sangat besar pada 2025-2028 mendatang. Namun, hal ini sebenarnya selalu terjadi, di mana maturity UST akan terkonsentrasi pada tenor pendek, baik dalam suku bunga rendah maupun tinggi. Jika dilihat lebih detil, maturity terbesar tahun ini terjadi pada Q1 lalu, di mana target penerbitan UST juga tertinggi pada Q1 mencapai US$815 juta USD dan kemudian turun di Q2 menjadi US$144 juta dan seterusnya," ujar Emil, dikutip Rabu (9/4/2025).

Di sisi lain, Presiden Trump dan pemerintahannya selama ini konsisten menyuarakan defisit dagang AS sebagai suatu masalah yang menjadi duduk perkara rendahnya penciptaan lapangan kerja di AS. Terlebih, rasio manufaktur terhadap PDB AS juga konsisten turun, salah satunya akibat ketergantungan pada barang impor. Menyadari hal ini, Pemerintah AS kembali meninjau kembali kesepakatan dagang mereka selama ini dengan seluruh mitra dagang yang tertuang dalam deklarasi National Emergency atau lebih populer dikenal sebagai Liberation Day.

Risiko Perang Dagang dan Dampak Global

Bahana TCW memprediksi bahwa kebijakan ini berpotensi memicu perang dagang global, terutama jika Tiongkok membalas dengan strategi keras. "Jika Tiongkok kini punya pasar alternatif selain AS, kemungkinan terjadi konflik berkepanjangan cukup besar. Sementara itu, Indonesia dan negara ASEAN lainnya cenderung memilih jalur negosiasi, sebuah langkah yang dinilai tepat untuk mencari solusi yang saling menguntungkan," ujar Emil.

Di pasar valuta asing global, sentimen negatif telah mendorong penguatan mata uang safe haven seperti Swiss Franc (CHF) dan Yen Jepang (JPY). Sebaliknya, Dolar AS justru melemah akibat kekhawatiran resesi di AS. "Rupiah diprediksi tertekan, terutama karena penurunan harga komoditas ekspor utama seperti batubara dan CPO," tambah Emil.

Dampak ke Indonesia

Meski Indonesia konsisten mencatat surplus dagang dengan AS, tarif resiprokal ini diperkirakan akan memangkas surplus tersebut. "Kami yakin Indonesia masih akan surplus, tapi tekanan pada industri padat karya yang mengekspor ke AS perlu diwaspadai. Kebijakan ini kemungkinan akan menekan surplus perdagangan Indonesia dengan AS," ungkap Emil.

Kendati demikian, pemerintah telah menjabarkan beberapa solusi antara lain relokasi impor dari negara lain ke AS untuk menyeimbangkan neraca dagang Indonesia dengan AS. Tetap perlu diwasapadai adalah risiko dumping barang dari negara lain yang kehilangan pasar AS bisa menjadi tantangan baru. 

Di pasar keuangan domestik, Bahana TCW menilai reaksi panik pada pembukaan perdagangan 8 April 2025 salah satunya dapat dikontribusikan oleh arus keluar dari ETF MSCI Indonesia yang tertahan selama bursa Indonesia libur lebaran. Sementara itu, rupiah diprediksi masih dapat dijaga BI di bawah Rp17.000 per dolar AS berkat intervensi agresif BI di pasar offshore dan domestik.

"Adapun SBN turut terdampak negatif oleh aksi jual panik yang terjadi di awal pembukaan pasar setelah libur panjang. Kendati yield US Treasury turun drastis, bukan berarti seluruh surat utang negara berkembang akan mengikuti. Dengan komitmen BI untuk intervensi beli di pasar sekunder, ruang untuk koreksi terbilang lebih minim. Kami mengantisipasi koreksi ke arah yield SBN10Y 7.1-7.2% sebagai kesempatan beli," terang Emil.

Langkah BI dan Strategi Investasi

Bahana TCW menilai BI akan mempertahankan suku bunga di April ini demi menjaga stabilitas rupiah. "Fokus BI saat ini adalah stabilitas, bukan pertumbuhan jangka pendek. Langkah tersebut dinilai sudah tepat dengan mengedepankan stabilitas rupiah untuk sementara waktu ini. Signalling yang cukup tegas dari BI tersebut diharapkan dapat membatasi koreksi pasar utamanya pada rupiah dan SBN," jelas Emil.

Untuk investor, Bahana TCW menyarankan beberapa langkah, seperti mengurangi eksposur pada saham dan obligasi perusahaan dengan utang Dolar AS tinggi, beralih ke sektor domestik seperti perbankan dan utilitas, serta memantau negosiasi dagang AS-Indonesia.

"Kami juga merekomendasikan SBN tenor panjang dengan yield 7,1-7,2% sebagai entry point dengan catatan jika telah ada tanda-tanda kepanikan mereda, serta mempertimbangkan instrumen SRBI untuk imbal hasil sementara," ungkap Emil.

Selain itu, penting untuk terus memperhatikan dinamika negosiasi dagang Presiden Trump, utamanya dengan Indonesia karena respon pasar regional dapat berbeda tergantung kesepakatan yang tercipta secara bilateral. "Hal menarik lain adalah investor perlu kembali pertimbangkan instrumen SRBI yang berpeluang mengalami kenaikan suku bunga secara temporer di saat BI berupaya menstabilkan rupiah," tutup Emil.