Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai indeks demokrasi Indonesia sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Demokrasi di negara ini sedang jeblok berdasarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dirilis baru-baru ini.

Berdasarkan laporan EIU kata Bivitri indeks demokrasi Indonesia 2023 (Laporan dirilis Januari 2024) berada pada fase flawed democracy atau demokrasi cacat atau lemah.

Baca Juga: Pertemuan Prabowo-Megawati Masih Cocokkan Waktu: Harapannya Akhir Pekan Ini

Apabila kondisi ini terus dimaklumi maka tidak mustahil Indonesia akan bergerak menuju hybrid rezim atau lebih mengerikan lagi masuk ke sistem rezim otoriter. Menurutnya tanda bahaya harus dinyalakan dari sekarang sebelum demokrasi Indonesia terperosok lebih jauh lagi.

“Jadi kita udah deket ke hybrid rejim, bahkan kalau dilihat skornya, udah agak deket gitu. Kalau dari petanya tuh ada, kita warnanya udah biru muda. Artinya alert nya harus, tanda bahaya sebenarnya memang harus kita bunyikan,” kata Bivitri ketika menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di idea Fest 2024, ditulis Olenka.id Jumat (18/10/2024).

Secara umum, jebloknya indeks demokrasi Indonesia terjadi pada dua hal utama yakni political culture sama civil liberties. Sementara untuk penilaian pada functioning of government menurut laporan EIU Indonesia dalam posisi baik-baik saja. 

Kendi begitu, menurut Bivitri pada kenyataannya functioning of government di negara ini juga sama buruknya. Ia hanya tampak bagus dari luar saja, tetapi isinya justru semrawut dan kacau balau.

“Kalau functioning of government ya kelihatannya kan baik-baik saja ya, walaupun buat saya itu kayak cangkang. Kayak kerang gitu, cangkangnya memang ada dan mungkin bagus, tapi sebenarnya dalemnya kopong,” ujarnya.

Bivitri punya bukti kuat soal bobroknya functioning of government di Indonesia, menurutnya EIU memberi penilaian bagus pada sektor ini karena melihat partisipasi masyarakat dalam Pemilu yang lumayan tinggi. 

Namun kata Bivitri di balik tingginya partisipasi itu ada upaya-upaya politik curang seperti ‘serangan fajar’ hingga pengerahan massa yang semuanya tak terlepas dari politik uang. 

Jadi menurutnya functioning of government tampak bagus karena antusiasme masyarakat, tetapi praktiknya masih menggunakan cara-cara menjijikan.

Baca Juga: PDIP Bakal Masuk Kabinet Prabowo tapi Ogah Ambil Jatah Menteri?

“Partisipasi kita dalam pemilu kemarin memang tinggi ya. Tapi kan penyebabnya, apakah karena digiring atau karena dibayar, saya kira kita bisa survei kecil-kecilan Saya kalau lagi ke daerah-daerah ketemu mahasiswa, saya suka tanya, ayo siapa yang dapetnya lebih dari 500 ribu? Banyak. Karena dari berbagai kandidat,” tutup Bivitri