“Maka kita gampang sekali untuk menyampaikan bahwa ‘aku cemas, aku depresi, aku sedih, aku kenal mental’, karena memang tadi promosi kesehatan mentalnya semakin meningkat, awareness-ya semakin meningkat pula,” ujar Jessica dalam agenda talkshow “Let’s Be Brave Together” Maybelline, Kamis (17/10/2024).

Kendati begitu, Jessica tak memungkiri bahwa jika berbicara mengenai kesehatan mental adalah suatu hal yang kompleks. Menurutnya, kemajuan media sosial dan teknologi dapat menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang mudah merasakan cemas dan depresi.

“Di media sosial, kita gampang membandingkan diri dengan orang lain, di mana hal tersebut membuat kita menghakimi diri sendiri. Kemudian, di dunia yang penuh teknologi serba instan ini, buat kita sedikit-dikit pakai teknologi. Sehingga, membuat mental kita nggak betah, sehingga menjadi rentan mengalami itu (kesehatan mental),” jelas Jessica. 

Di samping itu, hasil polling yang dilakukan KumparanWOMAN mengenai ‘benarkah Gen Z Lebih Rentan Alami Gangguan Kesehatan Mental’, menunjukkan bahwa sebanyak 95,4% Gen Z menyadari akan pentingnya kesehatan mental. Menariknya, tidak ada satu responden pun yang menganggap hal ini tidak penting. 

Editor in Chef KumparanWOMAN, Fitria Sofyani, menjelaskan lebih lanjut hasil polling tersebut. Perihal sumber ketakutan, kehilangan menjadi akan ketakutan terbesar Gen Z dengan hasil sekira 39,4%.

“Sementara sumber ketakutan lainnya adalah kegagalan dengan hasil 30,3%; takut dengan ekspektasi orang lain dengan hasil 18,2%; dan ketakutan tidak diterima dengan hasil 10,0%,” jelas Fitria dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, Gen Z juga memiliki sumber utama kecemasan. Tiga teratas di antaranya adalah masa depan (50,8%), karier (20,0%), dan keluarga (18,5%). Kemudian, sumber kecemasan lainnya adalah masalah percintaan (7,7%), dan media sosial (3,0%).

Baca Juga: 7 Audiobooks untuk Memahami Pentingnya Kesehatan Mental

Di era media sosial yang terus berkembang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan mental, contohnya saja dengan melihat pencapaian orang lain. Ternyata, 34,4% responden mengakui bahwa dampak media sosial ini cukup besar bagi mereka.

“Mereka yang mulai merasakan kecemasan atau kondisi yang tidak baik-baik saja, lebih memilih untuk bercerita ke sahabat (59,7%) dan keluarga (29%). Sayangnya, masih sedikit yang menjadikan Psikolog sebagai opsi curhat,” tutur Fitri.

Hasil polling tersebut juga menunjukkan, Gen-Z mencoba alternatif stress-relief yang kekinian, seperti self-care (79,4%) journaling (11%) dan hanya 7% yang memilih dengan Psikolog.