Isu kesehatan mental di Timor Leste hingga hari ini masih tak terlepas dari bayang-bayang masa lalu. Menurut dr. Flavio Brandáo M. de Araújo, PGDA, M.Med., Wakil Menteri Operasionalisasi Rumah Sakit Kementerian Kesehatan Republik Demokratik Timor-Leste, persoalan utama kesehatan mental di negaranya merupakan 'hasil panen' dari trauma konflik yang terjadi puluhan tahun silam.
“Kesehatan mental di Timor Leste sebenarnya lebih banyak kita lihat dengan isu-isu post-konflik. Post-konflik trauma. Hari ini baru kami panen hasil dari trauma waktu itu, yang kejadiannya mungkin 20 tahun lalu, 30 tahun lalu,” tutur dr. Flavio, saat ditemui usai acara Webinar Tech, Safety, Mental Health and Community for a Resilient Future yang digelar Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, di kampus UI Depok, Jawa Barat, belum lama ini.
dr. Flavio memaparkan, secara angka, masalah kesehatan mental di Timor Leste masih berada dalam batas yang relatif normal jika dibandingkan Indonesia. Hal ini tak lepas dari perbedaan jumlah populasi yang sangat signifikan.
“Data dia tidak separah di Indonesia, karena populasi Indonesia memang terlalu besar untuk dibandingkan dengan negara sekecil Timor Leste. Tapi yang kita ada adalah nomor yang masih dalam batas-batas normal,” jelasnya.
Meski demikian, dr. Flavio justru melihat Indonesia memiliki keunggulan dari sisi sumber daya untuk mengatasi tantangan kesehatan mental.

“Saya percaya karena populasi yang begitu besar, sumber daya yang ada di Indonesia juga begitu masif, sehingga bisa menjawab tantangan masalah kesehatan mental lebih bagus dibanding dengan Timor Leste,” tambahnya.
Menurut dr. Flavio, corak permasalahan kesehatan mental di Timor Leste berbeda dengan Indonesia. Jika Indonesia banyak dipengaruhi oleh tekanan modern dan teknologi, Timor Leste masih bergulat dengan luka konflik.
“Kalau di Indonesia kena teknologi, kalau di Timor Leste kena konflik. Bedanya hanya di situ,” tuturnya.
Dampak konflik tersebut tidak berhenti pada generasi yang mengalami langsung, tetapi diwariskan kepada anak-anak yang lahir setelahnya. Menurutnya, anak-anak yang tumbuh dari orang tua dengan pengalaman traumatis cenderung membangun kepribadian yang diliputi kecemasan dan depresi.
“Biasanya yang muncul adalah cemas dan depresi. Ada anak-anak yang lahir dari ibu yang pernah patah konflik, orang tuanya melihat kejadian-kejadian traumatis. Ini membentuk personalitas yang cemas, gelisah, dan anxiety,” ungkapnya.
Ia pun lantas menekankan bahwa trauma ini berasal dari pengalaman masa kecil yang penuh keterbatasan, rasa takut, hingga kekurangan makan. Tekanan emosi yang lama terpendam itu, menurutnya, bisa meledak ketika individu telah merasa bebas.
“Pendekanan emosi yang begitu lama, desire yang begitu kuat dipendam, hari ini dia lepas karena dia dapat kebebasan itu. Kadang tiba-tiba muncul kemarahan atau kekerasan. Itu trauma, walaupun itu kesalahan, tapi itu trauma,” kata dr. Flavio.
Baca Juga: Wamenkes RI: Kesehatan Mental Pilar Utama Kesehatan Holistik di Era Digital