Istilah greenflation atau green inflation menjadi topik pembahasan yang cukup hangat belakangan ini. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh debat Cawapres 2024 putaran keempat, yang mana Gibran Rakabuming Raka sempat bertanya kepada Mahfud MD perihal solusi atau cara mengatasi greenflation.

Greenflation menjadi istilah yang non-familiar bagi banyak kalangan. Singkatnya, Greenflation merupakan istilah inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga bahan mentah dan energi sebagai akibat dari transisi hijau.

Menukil dari laman Union Investment, pada tingkat paling dasar, inflasi hijau dapat dipahami sebagai komponen inflasi yang disebabkan oleh transisi menuju dunia yang lebih ramah iklim. Ia memiliki dua “sepupu dekat”, yakni inflasi iklim dan inflasi fosil. 

Isabel Schnabel, anggota Dewan Eksekutif Bank Sentral Eropa (ECB), menyebut ketiga dimensi ini sebagai tiga guncangan yang berbeda namun saling terkait yang diperkirakan akan menyebabkan tekanan naik terhadap inflasi dalam jangka waktu yang lama.

Climateflation menggambarkan fenomena dimana kenaikan harga dipicu oleh perubahan iklim yang sudah terjadi, yaitu dampak langsung dari perubahan iklim. Contohnya adalah kenaikan harga ketika panen gagal akibat gelombang panas atau jika produksi terhenti karena badai. Masalah logistik juga termasuk dalam kategori ini. Pikirkan kembali penghentian sementara pelayaran di Rhine akibat rendahnya permukaan air pada tahun 2018.

Fosilflasi mengacu pada kenaikan harga yang dapat dikaitkan dengan kenaikan harga bahan bakar fosil, namun komponen harga yang didorong oleh peraturan – seperti tunjangan emisi serta pajak dan bea lainnya – dihilangkan.

Rincian tingkat inflasi yang ditunjukkan pada grafik dengan jelas menunjukkan bahwa inflasi fosil saat ini menjadi faktor utama pendorong inflasi. Sejak April 2021, kenaikan harga energi bahan bakar fosil secara konsisten menyumbang lebih dari separuh inflasi di zona euro.

Istilah greenflation sendiri mencerminkan pengertian bahwa kenaikan harga dapat bersifat jangka panjang, seiring dengan upaya negara-negara untuk memenuhi komitmen lingkungan mereka. Meningkatnya pengeluaran untuk teknologi bebas karbon menyebabkan kenaikan harga bahan-bahan yang strategis untuk infrastruktur tersebut.

Sementara itu, intensifikasi peraturan lingkungan hidup yang membatasi investasi pada proyek pertambangan yang berpolusi tinggi juga membatasi pasokan bahan baku, yang juga mengakibatkan kenaikan harga. Oleh karena itu, transisi hijau menjadi lebih mahal karena penerapannya lebih luas.

Baca Juga: Siapa Thomas Lembong? Ini Dia Sosok Mantan Mendag Kabinet Jokowi dan Harta Kekayaan yang Dimilikinya