Infeksi RSV (Respiratory Syncytial Virus) masih sering disalahartikan sebagai ‘flu biasa’, padahal virus ini merupakan salah satu penyebab utama pneumonia dan bronkiolitis pada bayi, terutama bayi prematur dan bayi dengan faktor risiko tinggi lainnya.

Karena gejalanya sering samar, banyak orang tua tidak menyadari bahayanya hingga sudah terjadi komplikasi.

Prof. dr. Cissy Rachiana Sudjana Prawira, Sp.A(K), MSc, Ph.D., Konsultan Respirologi Anak, menegaskan bahwa edukasi adalah kunci untuk meningkatkan kewaspadaan orang tua terhadap RSV.

Menurut Prof. Cissy, banyak orang tua sudah siap memiliki anak, tetapi belum tentu siap memahami cara menjaga kesehatan anak secara menyeluruh. Karena itu, edukasi menjadi fondasi.

“Orang tua itu mereka siap punya anak, tapi siap memelihara dengan baik itu kadang-kadang perlu tambahan edukasi,” tutur Prof. Cissy, saat sesi edukasi bertajuk 'Kenali RSV, Selamatkan Bayi Berisiko Tinggi', yang digagas AstraZeneca Indonesia, di The Westin, Jakarta, baru-baru ini.

Dipaparkan Prof. Cissy, salah satu peran penting datang dari media, tenaga kesehatan, dan lingkungan sosial yang mampu menjangkau orang tua secara lebih luas.

Karena belum tersedia imunisasi RSV rutin untuk semua anak, kata dia, langkah pencegahan paling efektif adalah menjaga kesehatan dan kebersihan sejak dini. Prof. Cissy menekankan pentingnya Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), termasuk pola makan seimbang, tidur cukup, dan kebersihan diri.

“Anak-anak itu udah mesti dilatih bahwa cuci tangan itu untuk apa? Untuk menghilangkan semua kuma,Jangan longgar soal cuci tangan. Ajarin dari kecil,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa anak sakit sebaiknya tidak dipaksakan masuk sekolah.

“Kalau anaknya sakit, jangan dipaksa sekolah, Karena dia bisa menularkan makin menyebar, makin banyak,” lanjutnya

Karena RSV adalah virus yang belum memiliki obat spesifik, menjaga kesehatan umum, daya tahan tubuh, serta kebersihan menjadi langkah yang sangat penting, terlebih bagi bayi baru lahir yang memiliki risiko tinggi.

Pola Penyebaran RSV di Indonesia

Dikatakan Prof. Cissy, penelitian tentang RSV sebenarnya sudah berlangsung sejak awal 2000-an.

Beberapa daerah seperti Lombok memiliki angka kejadian RSV yang tinggi dan menjadi lokasi penelitian rutin. Studi juga dilakukan di Mataram, Ambon, Aceh, Banjarmasin, serta Bandung.

“Di Mataram, di Bandung, di Aceh dan Ambon itu kira-kira sama, sekitar 20–30 persen pneumonia disebabkan oleh RSV. Jadi tinggi ya waktu itu,” tutur Prof. Cissy.

Baca Juga: RSV di Indonesia: Ancaman Tersembunyi bagi Bayi Prematur Menurut Prof. Rinawati Rohsiswatmo

Di Indonesia, kata dia, RSV dapat ditemukan sepanjang tahun, dengan periode puncak tertentu yang bervariasi di tiap wilayah. Namun, banyak penelitian dilakukan bukan pada periode puncak, sehingga angka sebenarnya bisa lebih tinggi.

Prof. Cissy menekankan pentingnya penelitian jangka panjang dan berkelanjutan untuk mendapatkan gambaran akurat pola penyebaran RSV nasional. Menurutnya, Indonesia memang sudah memiliki sistem surveilans untuk SARS, influenza-like illness, dan pneumonia di fasilitas kesehatan tertentu, namun cakupannya belum optimal.

“Rumah sakitnya hanya 6 dari 48 sentinel. Dan itu pun baru mulai pada bayi-bayi kecil. Mudah-mudahan itu akan memetakan beban penyakit RSV pada bayi dan anak,” ungkapnya.

Prof. Cissy juga menyoroti perlunya studi berkala sepanjang tahun, baik pada anak yang dirawat maupun yang tidak dirawat, agar pemerintah dapat menyusun kebijakan pencegahan yang lebih tepat sasaran.

Panduan Deteksi Dini RSV

Ketika ditanya apakah Indonesia sudah memiliki panduan kuat untuk membantu orang tua mengenali gejala RSV, Prof. Cissy menjelaskan bahwa panduan sudah dibuat, terutama melalui edukasi untuk tenaga kesehatan.

“Panduan-panduan itu kita melakukannya melalui webinar dengan dokter umum, pelawat, petugas kesehatan dari universitas, dari rumah sakit,” paparnya.

Namun, penyebaran informasi ke masyarakat umum masih perlu diperkuat. Peran jurnalis, media digital, serta platform edukasi dari para dokter muda dan tenaga medis di media sosial sangat penting untuk memperluas jangkauan informasi.

“Mungkin dengan adanya pertemuan seperti ini, sangat baik kita bisa sharing, teman-teman jurnalis bisa meneruskan ke masyarakat. Cara menulis mereka lebih gampang diterima,” terangnya.

Lebih lanjut, Prof. Cissy juga mengapresiasi meningkatnya jumlah dokter yang aktif membuat konten edukasi kesehatan.

“Saya senang dokter-dokter muda banyak buka medsos membahas penyakit sehari-hari. Mudah-mudahan dengan cara itu bisa tersebar bagaimana cara merawat anak, terutama premature,” tandasnya.

Baca Juga: Peran AstraZeneca Indonesia dalam Meningkatkan Kesadaran dan Pencegahan RSV pada Bayi Berisiko Tinggi