Di tengah produksi minyak sawit (CPO) dalam negeri yang stagnan dalam lima tahun ke belakang ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melihat adanya potensi kenaikan harga di pasar global.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, memperkirakan harga CPO sepanjang sisa tahun 2025 berada di kisaran US$1.100–US$1.200 per metrik ton. Bahkan, terdapat peluang kenaikan mencapai US$1.300 per metrik ton CIF Rotterdam.
Baca Juga: BPDP dan PASPI Gelar Advokasi Sawit untuk Mahasiswa Kalimantan Selatan
“Produksi sawit Indonesia dalam lima tahun ini stagnan. Begitu juga di Malaysia. Sementara itu, permintaan dunia akan minyak nabati terus meningkat. Kondisi ini yang menopang harga tetap tinggi,” ujar Eddy dalam webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation yang digelar INDEF, Senin (22/9/2025).
Bicara pasar ekspor, kenaikan harga yang tidak terkendali bisa mengganggu penyerapan CPO Indonesia di pasar global. Eddy menekankan, jika harga CPO sama atau lebih tinggi dari minyak nabati lainnya, konsumen minyak nabati akan memilih jenis minyak nabati lainnya.
Dari dalam negeri, GAPKI melihat adanya tantangan produksi dan pasokan CPO. Salah satu faktor yang menekan produksi CPO adalah rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat. Menurutnya, sekitar 42% perkebunan sawit nasional yang saat ini dikelola petani sudah membutuhkan program peremajaan (PSR). Sayangnya, realisasi PSR belum optimal karena terkendala status lahan dan keberatan petani untuk menebang pohon tua yang produktivitasnya rendah.
"Banyak petani hanya menghasilkan 10 ton TBS (tandan buah sawit) per hektare per tahun, bahkan ada yang lebih rendah. Padahal, setelah replanting, bisa naik hingga tiga kali lipat. Pemerintah perlu memberi solusi, misalnya bantuan pendapatan sementara atau mendorong intercropping dengan tanaman semusim seperti jagung atau padi gogo," ujar Eddy.
Selain masalah produktivitas, kebijakan B50 yang diwacanakan pada tahun depan bisa berpotensi mengurangi ekspor. Pasalnya, pemerintah pasti akan mengutamakan kebutuhan domestik dibandingkan memenuhi pasar global.
“Jika produksi stagnan, tapi kebutuhan domestik naik, ekspor yang akan dikurangi. Indonesia adalah pemasok besar minyak nabati dunia sehingga penurunan ekspor bisa mendorong harga minyak nabati global melonjak. Oleh karena itu, GAPKI menilai keseimbangan antara kebutuhan domestik dan ekspor harus dijaga dengan hati-hati,” pungkasnya.