Perang antara Israel dan Iran membawa dampak luas bagi kondisi global. Tak terkecuali Indonesia yang juga terancam bakal tersasar dampak buruk tersebut kendati perang itu baru bergejolak.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, dampak paling nyata yang bisa dirasakan Indonesia adalah peningkatan beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) serta risiko pelebaran defisit fiskal itu disebabkan karena kenaikan harga minyak global.
"Perang Iran-Israel langsung berdampak pada kenaikan harga minyak dunia. Saat ini harga minyak Brent sudah naik ke level sekitar US$ 74 per barel, meningkat sekitar 18,6% dibandingkan posisi akhir Mei," kata David kepada wartawan Rabu (17/5/2025).
Sebagai negara net importir atau negara yang nilai impornya jauh lebih besar ketimbang nilai ekspor, kata David Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terdampak gejolak perang Israel-Iran
Selain ancaman harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bisa melambung tinggi, yang berimbas pada subsidi BBM, ancaman lainnya yang turut mengancam Indonesia adalah tekanan inflasi impor, termasuk pada harga pangan yang banyak bergantung pada impor.
"Ini berpotensi meningkatkan beban subsidi BBM, yang pada akhirnya menekan anggaran dan memperlebar risiko defisit fiskal. Kenaikan harga minyak juga mendorong tekanan inflasi impor, dan bahan pangan yang impor dapat terdampak," terang David.
Untuk meminimalkan berbagai risiko tersebut, pemerintah diminta mengambil langkah mitigas dari sekarang. Salah satu langkah yang perlu diambil pemerintah adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah demi menjaga inflasi yang berasal dari impor, terutama yang terkait dengan lonjakan harga minyak.
"Pengendalian inflasi pangan juga harus menjadi prioritas agar daya beli masyarakat tetap terjaga," ujarnya.
Dari sisi fiskal, David menyarankan pemerintah untuk segera menyesuaikan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menghadapi potensi lonjakan kebutuhan belanja subsidi, khususnya subsidi energi.
"Pemerintah perlu menyesuaikan postur APBN untuk mengantisipasi potensi lonjakan belanja subsidi, khususnya subsidi energi," imbuhnya.
Terpisah, Wakil Ketua MPR RI Bambang Wuryanto juga mengatakan hal yang sama, perang Israel-Iran kata dia berpotensi mengguncang ekonomi Indonesia.
“Kalau perangnya agak lama dikit, harga minyak bisa naik, dan kalau harga minyak naik, itu pasti berdampak pada nilai tukar,” kata Bambang Pacul sapaan Bambang Wuryanto.
Pacul meyebut, setiap gejolak dalam perdagangan minyak akan berdampak langsung pada penguatan dolar dan pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
Hal tersebut, kata dia, berangkat atas kondisi sejarah pengaitan dolar terhadap minyak tahun 1971, yang sejak saat itu minyak tidak lagi dipatok dengan emas tapi dengan dolar Amerika Serikat (AS).
“Ini ilmu sederhana saja. Kalau harga minyak naik, logikanya dolar juga akan naik, dan rupiah akan melemah,” ucapnya.
Meski demikian, dia menilai dampak konflik Iran-Israel terhadap pasokan minyak Indonesia kemungkinan tidak signifikan karena jenis minyak Iran adalah minyak berat atau “heavy crude” yang hanya bisa diolah di kilang tertentu.
“Kita tidak terlalu banyak memakai minyak berat. Kilang Cilacap memang bisa, tapi itu pun tidak banyak. Artinya dari sisi teknis, pengaruh langsung terhadap kilang kita tidak terlalu besar,” tuturnya.
Baca Juga: Hasil Survei: Mayoritas Pendukung Gerindra Tak Percaya Jokowi Palsukan Ijazah
Dia pun menegaskan Pertamina sebagai pengelola utama sektor minyak dan BBM di Indonesia harus siap dengan berbagai skenario, termasuk potensi gejolak harga minyak dunia akibat konflik tersebut.
“Pertamina tentu sudah punya kajian dan sedang konsolidasi. Kita harap mereka siap,” katanya.