Emosi mempunyai pengaruh besar dalam cara pandang seseorang, emosi dan perasaan negatif bakal menghadirkan energi serupa yang membuat seseorang melihat sekitarnya dari sudut pandang yang negatif pula, begitu juga sebaliknya, mereka yang pandai merawat dan menjaga kestabilan emosi bakal memandang hidup dari sisi yang positif pula. Tetapi perkara menjaga kejernihan emosi adalah hal yang gampang-gampang sukar. 

Akademisi dan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Prasanti Widyasih Sarli mengakui itu, emosi kerap kali sangat gampang dipengaruhi faktor-faktor eksternal.

Misalnya seseorang yang menganggap dirinya baik dan berprestasi bisa saja berubah emosinya ketika ia diberitahu bahwa pada kenyataannya ia bukan seseorang yang seperti ia pikirkan, hal ini sangat sangat tergantung dari cara merespons pernyataan tersebut dan kondisi emosinya ketika itu, kalau ia pandai mengatur emosinya, maka pernyataan tersebut bisa saja tak berdampak, tetapi jika gagal menetralisirkan emosinya, bisa jadi masukan tersebut dapat mengubah emosi positif menjadi negatif.  

Baca Juga: Rentetan Kegagalan di Balik Kesuksesan Prasanti Widyasih Sarli

“Saya selalu melihat diri saya sebagai orang rasional, orang yang pintar, orang yang baik dan sebagainya. Dan kita pasti akan ketrigger kalau kamu dikasih tau sesuatu sama seseorang yang bilang kamu tuh gak kayak gitu. Kamu tidak seperti yang kamu bayangkan,” kata Prasanti Widyasih dilansir Olenka.id Selasa (6/5/2025).

“Kalau orang ngomong kayak gitu, pasti kita ketrigger kan? Akhirnya kita jadi emosional. Emosi kita yang main. Nah masalahnya, saat kita mulai emosional, yang terjadi adalah emosi ini mendistorsi kita,” tambahnya. 

Tak hanya dipengaruhi faktor eksternal, hal-hal internal juga punya dampak yang cukup besar terhadap kestabilan emosi, misalnya memori soal kegagalan di masa lalu, ketika hal-hal tak mengenakan di masa lampau  kembali terpanggil dalam pikiran, maka peristiwa-peristiwa terdahulu dapat berimbas pada kestabilan emosi. 

Namun hal ini dapat diminimalkan dengan menghadirkan kembali momen-momen bahagia dalam pikiran, misalnya saja memori yang menyimpan kesuksesan yang pernah direngkuh, ketika memori itu terakses dengan baik, maka emosi positif bakal muncul dengan sendirinya.

“Tapi kalau misalnya saya lagi merasa jadi orang sukses, bukti-bukti kesuksesan saya juga tiba-tiba muncul. Ibaratnya seperti saya tuh lagi meng-google di dalam pikiran saya sendiri dan pasti buktinya ada. Kenapa? Karena emosi saya membuat saya lebih mudah untuk mengenali apakah cerita-cerita gagal ataupun cerita-cerita sukses tersebut,” tuturnya. 

Menurut Prasanti Widyasih, emosi memang sangat berpengaruh pada cara pandang seseorang, ketika dalam kondisi positif orang tak terlampau terpengaruh dengan hal-hal kecil, namun saat dalam kondisi negatif hal-hal kecil bisa semakin memperburuk emosi seseorang. 

Baca Juga: Eks Direktur Pelanggaran HAM Berat Kejagung Sebut Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional: Tanpa Beliau Indonesia Dikuasai PKI

“Kalau misalnya moodnya lagi bagus, pasti kita dikasih feedback kecil yaudah be aja (bisa aja) gitu kan. Tapi kalau misalnya kita moodnya lagi jelek, pasti kita jadi jauh lebih down kalau dikasih feedback,” tuturnya. 

“Atau misalnya kalau kita lagi down, kita bakal ngerasa kayaknya gak mungkin deh, apapun kayaknya gak akan terjadi lah. Ini semua, apa yang kita pikirin ini, ini diwarnai oleh emosi kita,” tuntasnya.