Tak ada mimpi yang lahir tanpa perjuangan. Maestro properti Indonesia yang juga Founder Ciputra Group, Ir. Ciputra, membuktikannya sejak muda. Setelah menamatkan studi arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia menapaki kariernya selangkah demi selangkah, menembus berbagai keterbatasan di awal kemerdekaan Indonesia.

Namun, ketekunan dan keberaniannya berbuah manis. Ia dipercaya terlibat dalam proyek-proyek raksasa yang menorehkan sejarah di negeri ini, salah satunya Proyek Pasar Senen, mega proyek yang bukan hanya mengubah wajah Jakarta, tetapi juga menegaskan langkah awal Ciputra sebagai arsitek visioner yang kelak membangun mimpi-mimpi besar untuk Indonesia.

Dikutip dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, pada tahun 1964, Ciputra sudah mulai membangun Blok 1 dalam proyeknya bersama PT Pembangunan Jaya. Saat itu, ia pun mendapatkan sebuah rumah di Jalan Talang, dekat Pegangsaan, yang dibeli oleh PT Pembangunan Jaya dan dipinjamkan sebagai tempat tinggal.

“Setidaknya keluarga saya tak perlu tinggal di rumah kayu di Cempaka Putih,” kenangnya penuh syukur.

Rumah itu pun menjadi sumber kebahagiaan bagi Ciputra. Ibunya dan penjaganya, Oen, juga tinggal bersama mereka. Kehangatan keluarga semakin lengkap ketika di tahun yang sama, ia dan istrinya dianugerahi anak kembar laki-laki yang mereka beri nama Candra dan Cakra. Dengan empat anak, yakni dua perempuan dan dua laki-laki, rumah mereka pun dipenuhi dengan suara dan tawa.

“Hidup saya di tahun itu begitu hangat. Rumah dengan suara empat anak, sementara pekerjaan saya sedang berada di puncak kesibukan,” paparnya.

Namun, perjalanan hidup Ciputra nyatanya tak selalu mulus. Pada tahun 1965, ketika proyek tengah berjalan, tragedi G30S terjadi. Jakarta berubah menjadi kota yang mencekam. Aktivitas pembangunan pun terhenti.

“Kerja kami terhenti. Tentara ada di mana-mana, pengamanan di mana-mana, ketegangan di mana-mana,” ujar Ciputra.

Saat itu, perekonomian lumpuh dan mereka tak bisa bergerak leluasa. Meski begitu, Ciputra tetap memandang masa depan dengan optimisme.

Ketika situasi berangsur pulih di tahun 1966, semangat kerja mereka kembali menyala, terlebih dengan hadirnya Gubernur DKI Jakarta baru, Ali Sadikin, sosok tegas dan visioner yang kemudian dikenal mendorong pembangunan Jakarta secara besar-besaran.

Keteguhan Ciputra dan Ketegasan Ali Sadikin

Bagi Ciputra, pembangunan Proyek Senen bukan sekadar membangun blok pertokoan. Di sana, ia menyaksikan langsung bagaimana keberanian dan ketegasan pemimpin dapat menjadi benteng bagi para pelaksana pembangunan.

Pada tahun itu, bersama Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pembangunan Proyek Senen berjalan sangat dinamis. Ali Sadikin, yang akrab disapa Bang Ali, dikenal sebagai sosok tanpa kompromi jika menyangkut kepentingan masyarakat.

“Kau beritahu saya saja siapa yang mengganggumu selama melaksanakan proyek. Pasar Senen harus cepat selesai. Tidak boleh ada seorang pun yang mengganggu,” tegas Bang Ali kepadanya.

Namun, gangguan tak pernah berhenti datang. Hampir setiap hari para preman memeras tim proyek. Penduduk yang marah dan merasa digusur menumpahkan protes mereka dengan teriakan dan tangisan. Bahkan, sejumlah pedagang yang dendam karena area bisnis mereka digeser rutin mengirim orang-orang untuk mengancam.

Di antara mereka, kata Ciputra, ada seorang pria yang mengaku sebagai pengacara. Ia mengaku memiliki hubungan dekat dengan para pedagang Tionghoa yang merasa dirugikan. Setiap hari, pria itu mendatangi proyek dan menebar teror, menekan para mandor dan pekerja dengan ancaman.

Merasa pembangunan tak bisa dibiarkan terganggu, Ciputra pun melaporkannya kepada Bang Ali. Dan, respons sang gubernur cepat dan tegas.

“Kita akan diskusi,” kata Bang Ali. Ia meminta Ciputra membawa pria itu ke kantornya.

Keesokan harinya, ketika pria itu datang lagi menebar ancaman di lokasi proyek, Ciputra mendatanginya dan menyampaikan undangan Bang Ali. Dengan pongah pria itu menanggapinya, “Itu yang saya tunggu!”.

Mereka pun berangkat bersama menuju Balai Kota. Sesampainya di sana, Bang Ali menyambut dengan wajah serius dan tatapan tajam.

“Apa maksud Anda mengganggu kelancaran kerja Proyek Senen?” tanyanya langsung.

Dengan nada arogan, pria itu menjawab bahwa proyek tersebut menyalahi aturan. Tiba-tiba, sesuatu terjadi. Plakkkkkkkk!

Bang Ali menampar pria itu dengan keras. Ciputra terkejut dan bengong. Tanpa sepatah kata pun, Bang Ali lalu beranjak pergi meninggalkan mereka. Pria itu terpaku, tak mampu berkata apa-apa. Ciputra pun segera mengantarnya kembali ke Pasar Senen.

Baca Juga: Kisah Pertarungan Hidup Ciputra: Keringat, Air Mata, dan Nyawa di Balik Proyek Senen