Polemik rangkap jabatan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo belakangan tengah hangat diperbincangkan. Suryo Utomo baru saja ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BTN pada Rabu (26/3/2025) lalu.

Selain komisaris BTN, Suryo Utomo juga mengemban posisi sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN lainnya. Pria 56 tahun itu turut menjabat sebagai Komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI sejak November 2019 lalu, yang kemudian diangkat kembali pada 17 Juli 2024, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 296 Tahun 2024.

Fakta rangkap jabatan tersebut terasa ironis tatkala kinerja DJP yang menurun belakangan ini.

Kinerja Dirjen Pajak

Dalam beberapa waktu terakhir, kinerja Dirjen Pajak yang dipimpin Suryo Utomo menyita perhatian publik. Mulai dari kebijakan sistem Coretax hingga penerimaan pajak yang menurun turut dikeluhkan publik. Berikut beberapa di antaranya.

Baca Juga: Deretan Pejabat Pemerintah Mnta Maaf soal Coretax

1. Penerimaan Pajak Anjlok

Penerimaan pajak di awal tahun 2025 terpantau anjlok. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga akhir Februari 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun. Nominal tersebut turun drastis sekitar 30,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana angka penerimaan pajak pada Februari 2024 mencapai Rp269,02 triliun.

Penurunan ini berdampak signifikan pada total penerimaan perpajakan, yang anjlok 24,9 persen dari Rp 320,51 triliun pada Februari 2024 menjadi Rp 240,4 triliun di Februari 2025.

Penurunan penerimaan pajak ini menjadi perhatian utama karena berdampak pada penurunan penerimaan perpajakan secara keseluruhan. Anjloknya penerimaan pajak ini juga menjadi salah satu faktor utama penyebab turunnya pendapatan negara di awal 2025.

Sebagaimana yang dilaporkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga 28 Februari 2025, APBN mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau setara 0,13% dari produk domestik bruto (PDB).

Penyebab utama defisit ini adalah penurunan realisasi pendapatan negara. Hingga akhir Februari 2025, pendapatan negara hanya mencapai Rp316,9 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp439,2 triliun.

2. Sistem Coretax Bermasalah

Salah satu faktor yang memicu penurunan penerimaan pajak ialah implementasi sistem Coretax yang bermasalah sejak diterapkan pada 1 Januari 2025. Coretax merupakan sistem teknologi informasi terbaru yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. 

Coretax sejatinya dibuat sebagai upaya memodernisasi layanan administrasi perpajakan di Indonesia. Namun, sistem Coretax dinilai belum siap sehingga bermasalah dan alih-alih memudahkan, justru menyulitkan. 

Sejak awal penggunaan, sistem ini sudah menimbulkan kendala, seperti pembuatan akun tidak berjalan lancar, dan tak sedikit pula wajib pajak yang melaporkan kesulitan mengakses sistem, data yang tidak cocok, hingga seringnya error saat proses pelaporan pajak. 

Hal ini banyak dikeluhkan oleh pengguna, terutama pelaku usaha. Banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban mereka, terutama dalam pembayaran dan pelaporan PPN serta PPh.

Selain itu, penerapan mekanisme Tax Excess Refund (TER) yang diberlakukan sejak 2024 juga berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak. Mekanisme ini mengharuskan pemerintah mengembalikan selisih kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak karyawan, sehingga turut memengaruhi total penerimaan negara.

Baca Juga: Mantan Dirjen Pajak Era SBY Sebut Indonesia Bisa Bebas dari Utang, Ini Syaratnya

3. Potensi Kehilangan Pendapatan Pajak Menurut Bank Dunia

Dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 2 Maret 2025, Bank Dunia turut menganalisis data perpajakan Indonesia periode 2016-2021. 

Bank Dunia menyoroti lemahnya kinerja Indonesia dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Bahkan, Indonesia disebut berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp546 triliun per tahun akibat ketidakpatuhan pajak.

Potensi kehilangan tersebut berasal dari dua sektor utama. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyumbang angka tertinggi, mencapai Rp386 triliun, sementara Pajak Penghasilan (PPh) Badan diperkirakan hilang sebesar Rp160 triliun per tahun. 

Bank Dunia menilai bahwa pemerintah Indonesia kurang efisien dalam pemungutan pajak, terutama karena rasio penerimaan PPN dan PPh Badan yang rendah dibandingkan negara lain di kelas yang sama.

Selain itu,Bank Dunia juga menyebut kinerja penerimaan pajak dan tax ratio Indonesia sangat buruk dan salah satu terendah di dunia. Pada 2021, angkanya hanya 9,1 persen, jauh tertinggal dari negara-negara berpenghasilan menengah lainnya. Kondisi ini menjadikan kinerja pajak Indonesia salah satu yang terburuk di dunia.

Langgar Aturan Rangkap Jabatan

Di tengah gentingnya permasalahan yang ada, Suryo Utomo justru diangkat menjadi Komisaris Utama BUMN. Di mana, rangkap jabatan seperti Suryo Utomo ini dinilai telah melanggar aturan yang berlaku.

Menukil dari pemberitaan KompasJabatan rangkap yang dipegang Suryo Utomo bertentangan dengan UU BUMN No. 1/2025. Dalam Pasal 27B, disebutkan bahwa komisaris BUMN dilarang merangkap jabatan di direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas BUMN lain, anak usaha BUMN, badan usaha milik daerah, maupun posisi lain yang bertentangan dengan regulasi. 

Dengan demikian, penunjukan Suryo sebagai Komisaris Utama BTN, sementara ia masih menjabat sebagai Komisaris PT SMI, jelas melanggar aturan tersebut. Pilihannya kini hanya dua, tetap sebagai Komisaris Utama BTN dan mundur dari PT SMI, atau sebaliknya.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, turut menyoroti perihal ditunjuknya Suryo sebagai Komisaris Utama Bank BTN. Menurutnya, hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan, mengingat BTN adalah wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban pajaknya.

"Dengan demikian, ada konflik kepentingan. BTN merupakan badan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban pajaknya. Hal demikian sangat tidak etis bagi seorang pejabat publik, karena konflik kepentingan tersebut," ujarnya seperti dikutip dari laman Inilah.com.

“Untuk itu, berdasarkan pertimbangan di atas, sudah sangat wajar agar Menkeu mengganti DJP 1 dengan sosok yang lebih kompeten,” sambungnya.

Baca Juga: Eks Dirjen Pajak Hadi Poernomo Usul Pemerintah Tak Naikkan PPN 12%, Ungkap Keefektifan CCTV Penerimaan Negara

Lantas, bagaimana dengan rangkap jabatan antara Dirjen Pajak dan Komisaris Utama?

Masih mengutip dari laman Kompas, Undang-undang No. 1/2025 memang tidak mengatur secara spesifik soal ini. Meski begitu, rangkap jabatan ini dinilai bertentangan dengan prinsip “kemandirian” dalam Pasal 1A ayat 2 huruf e. Prinsip ini menekankan bahwa pengelolaan BUMN harus bebas dari benturan kepentingan serta tekanan yang bertentangan dengan tata kelola yang sehat.

Selain itu, dengan rangkap jabatan yang saat ini dieman Suryo Utomo, dikhawatirkan memicu benturan kepentingan, mengingat posisi yang diemban saat ini memiliki tugas yang sangat berbeda. 

Sebagai Dirjen Pajak, Suryo Utomo bertugas untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari perusahaan, termasuk BTN dan PT SMI. Sementara sebagai Komisaris, ia justru harus mengupayakan efisiensi keuangan perusahaan, termasuk menekan pembayaran pajak agar laba meningkat. 

Situasi ini tentunya menempatkan Suryo dalam dilema kepentingan. Maka, pilihannya jelas. Bertahan sebagai Dirjen Pajak dan mundur dari jabatan Komisaris di BUMN, atau sebaliknya