Sektor ekonomi kreatif di kawasan Asia Tenggara tengah menanjak. Namun di balik optimisme publik yang tinggi, riset terbaru justru menyingkap celah besar dalam pemahaman dan kebijakan yang menopang ekosistem kreatif di kawasan ini.
Melalui Jajak Pendapat Persepsi Regional tentang Ekonomi Kreatif ASEAN yang diluncurkan oleh program ASEAN–UK Advancing Creative Economy, terungkap bahwa 60 persen masyarakat ASEAN percaya ekonomi kreatif tengah tumbuh pesat, namun hanya 47 persen yang benar-benar memahami makna istilah tersebut. Hasil survei ini menjadi penanda bahwa semangat untuk berkembang sudah tumbuh, tetapi kesadaran publik dan kebijakan pendukung masih berjalan tidak seimbang.
Baca Juga: JIF 2025 Siap Digelar, Tegaskan Posisi Jakarta sebagai Episentrum Pertumbuhan Ekonomi ASEAN
“Jajak pendapat ini menegaskan adanya ambisi besar untuk membangun ekonomi kreatif yang kokoh di seluruh kawasan ASEAN” ujar Helen Fazey, Duta Besar Inggris untuk ASEAN, dalam peluncuran jajak pendapat di Jakarta.
“Kami belajar dari pengalaman di Britania Raya, di mana kreativitas menjadi motor penggerak inovasi dan pertumbuhan. Kini kami ingin membantu membuka potensi serupa di Asia Tenggara melalui kemitraan strategis”
Optimisme Besar, tapi Banyak yang Belum Paham
Laporan yang disusun oleh ASEAN Secretariat, British Council, dan Misi Britania Raya untuk ASEAN ini melibatkan lebih dari 4.000 responden dari sepuluh negara anggota ASEAN serta Timor-Leste. Hasilnya menunjukkan potret yang kontras: publik percaya ekonomi kreatif penting bagi pertumbuhan regional, namun kesenjangan pengetahuan masih lebar. Bahkan, 53 persen responden menyebut harga produk kreatif yang tinggi sebagai penghalang utama untuk mengakses karya kreatif.
Sementara itu, 50 persen pelaku industri kreatif menyoroti lemahnya koordinasi antarnegara ASEAN yang membuat banyak potensi kolaborasi lintas batas belum tergarap maksimal. Di sisi lain, 54 persen masyarakat menilai budaya dan kearifan lokal menjadi unsur paling penting dalam pengembangan produk kreatif. Pandangan ini sejalan dengan tren di Indonesia, di mana subsektor fesyen, kriya, dan kuliner berbasis budaya menjadi pendorong utama ekonomi kreatif nasional.
Peran Pelaku Kecil dan Infrastruktur Digital
Dalam laporan tersebut, mayoritas pelaku kreatif di ASEAN diidentifikasi sebagai pekerja lepas dan pelaku usaha kecil-menengah. Mereka menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi kreatif, namun masih berjuang dengan keterbatasan akses modal dan perlindungan hak kekayaan intelektual. 49 persen responden pelaku industri menganggap infrastruktur digital terutama akses internet cepat adalah elemen paling vital untuk mendukung produksi dan promosi karya kreatif.
“Internet bukan hanya saluran komunikasi, tapi juga ruang hidup bagi para kreator untuk memasarkan karya, berjejaring, dan membangun audiens” tulis laporan tersebut.
Menurut Summer Xia, Country Director British Council untuk Indonesia dan Asia Tenggara, kekuatan data dari survei ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan nyata.
“Kekuatan data terletak pada kemampuannya untuk mendorong tindakan nyata. Kami sedang menerjemahkan temuan ini menjadi panduan praktis agar pembuat kebijakan dapat merancang intervensi yang relevan, inklusif, dan berdampak jangka panjang” jelasnya.
Kerangka Bersama dan Visi ke Depan
Hasil jajak pendapat ini menjadi dasar penting bagi ASEAN Creative Economy Sustainability Framework kerangka kerja yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke-46 di Malaysia, Mei lalu. Kerangka tersebut menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, promosi pendidikan kreatif, serta kebijakan berbasis bukti untuk memperkuat ekonomi kreatif berkelanjutan di kawasan.
San Lwin, Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN untuk Komunitas Sosial-Budaya, menegaskan bahwa momen ini menjadi tonggak baru bagi kawasan.
“Inovasi dan kreativitas adalah penghubung terkuat kita untuk mendorong kemakmuran, mempererat budaya, dan memajukan keadilan sosial di seluruh Asia Tenggara” ujarnya.
“ASEAN ingin membangun masa depan di mana setiap ide bisa berkembang dan memberi manfaat bagi semua lapisan masyarakat”