Pengamat menilai adanya kompleksitas dalam permasalah bisnis thrifting atau pakaian bekas di Tanah Air. Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Prabowo tengah gencar menyasar pelaku impor pakaian bekas ilegal yang dinilai merugikan negara dan masyarakat.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menjelaskan lima (5) faktor penyebab menjamurnya pakaian bekas impor di Indonesia. Pertama, tingginya demand di masyarakat akan pakaian bekas impor karena harganya yang murah dan pengaruh tren fast fashion.
Baca Juga: Strategi Pemerintahan Prabowo Lawan Bisnis Thrifting
“Kedua, jaringan internasional yang rapi. Pasar baju bekas ini adalah bisnis global bernilai miliaran dolar AS yang terbentuk dari fast fashion yang menghindari sampah yang merusak lingkungan,” jelasnya kepada Olenka, Senin (24/11/2025).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pakaian bekas Indonesia mencapai US$29.759 dengan volume 12,86 ton pada 2023 dari 17 negara. Inggris menjadi asal impor terbesar dengan nilai US$15.725; disusul Amerika Serikat dengan US$5.817; Malaysia sebesar US$3.056; dan lain sebagainya.
Data tersebut baru merujuk pada impor pakaian bekas yang masuk secara resmi dan tercatat. Sementara itu, impor pakaian bekas yang bersifat ilegal seperti yang banyak terjadi pada bisnis thrifting di dalam negeri tidak tercatat dalam data BPS. Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, pakaian bekas masuk ke dalam kategori barang yang dilarang impor dengan pos tarif HS 6309.00.00, kecuali alasan tertentu seperti keperluan untuk riset.
Faktor ketiga tingginya importasi pakaian bekas di Indonesia, jelas Rhenald, adalah lemahnya pengawasan di titik-titik rawan seperti pelabuhan kecil, jalur laut tidak resmi, hingga manipulasi dokumen. “Selama supply dan demand sama-sama kuat, serta penegakan hukum belum sepenuhnya efektif, barang-barang ini akan tetap masuk,” tegasnya.
Keempat, thrifting bukan hanya ditimbulkan oleh barang impor, melainkan juga sampah dari industri garmen lokal yang dicampur dengan barang impor dan barang sisa toko yang datang dari toko-toko yang ada di sini juga. Kelima, faktor lapangan pekerjaan.
“Ingat, thrifting itu juga menciptakan lapangan pekerjaan. Sektor manufaktur Indonesia tengah merosot, sedangkan ada jutaan anak muda yang butuh pekerjaan. Thrifting telah menjadi harapan pendapatan dari perdagangan online karena negara belum bisa memberikan pekerjaan,” jelas Rhenald Kasali.
Pendiri Rumah Perubahan ini menegaskan bahwa bisnis thrifting sebenarnya menyimpan sisi positif: ramah lingkungan, mendukung ekonomi kreatif, dan memberi akses fashion terjangkau. Namun, harus dibedakan antara thrifting legal dan impor baju bekas ilegal.
“Jika thrifting memanfaatkan pakaian preloved dari konsumen lokal, itu sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah masuknya bal-balan impor baju bekas yang jelas dilarang karena alasan kesehatan, higienitas, dan dampaknya pada industri tekstil nasional. Jadi, thrifting boleh saja didorong, tetapi harus dengan ekosistem yang legal dan higienis,” pungkasnya.