Perubahan konsentrasi PM 2,5 lanjut Dinda, sangat dipengaruhi oleh dinamika atmosfer, seperti pergerakan angin dan kondisi cuaca.
“Sirkulasi angin bisa membantu mengawal polusi menjauh atau justru menumpuk di dekat permukaan, tempat kita bernapas saat ini,” ujarnya.
Dinda menjelaskan, kondisi kualitas udara buruk bukan hanya terjadi di Jakarta.
“Selama ada sumber polusi, maka polusi udara akan selalu ada. Bahkan beda 3 meter saja paparan udaranya sudah bisa berbeda,” kata Dinda.
Menurutnya, dari data jaringan sensor NAPAS, kota-kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, dan Semarang termasuk dalam wilayah dengan tingkat polusi tertinggi.
“Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara adalah persoalan nasional, bukan lokal semata,” ujarnya.
Terakhir, Dinda menuturkan, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya polusi udara, khususnya PM 2,5, menjadi kunci untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan.
Menurutnya, pemantauan rutin melalui aplikasi pemantau udara, mengurangi aktivitas yang menghasilkan polusi, serta kebijakan kolektif menjadi langkah penting.
“Polusi udara adalah persoalan bersama. Tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak saja. Masyarakat punya peran besar dalam menjaga udara yang kita hirup setiap hari,” tutup Dinda.
Baca Juga: Melodi Melawan Polusi, 15 Musisi Ini Suarakan Krisis Iklim