Bencana ekologis yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Sabtu (6/12/2025), sebanyak 883 jiwa dilaporkan meninggal dunia akibat rentetan bencana tersebut. Angka ini menjadi pengingat serius bahwa urgensi mitigasi dan kesiapsiagaan tidak lagi dapat ditunda.
Menanggapi situasi tersebut, Komunitas Ruang Eksplorasi menyelenggarakan workshop mitigasi bencana bertema “Menjadi Generasi Tangguh: Latihan Dasar dalam Menghadapi Krisis Kemanusiaan.” Rangkaian kegiatan diawali dengan pembekalan daring pada Rabu (3/12/2025), kemudian dilanjutkan pelatihan luring pada Jumat (5/12/2025) di Papua Room, Menara Thamrin, Jakarta Pusat.
Baca Juga: Apa Alasan Pemerintah Belum Menaikkan Status Banjir dan Longsor Sumatra Menjadi Bencana Nasional?
Di balik setiap krisis, selalu terdapat ruang bagi manusia untuk tumbuh dan mengambil peran.
“Workshop ini diharapkan mampu memberikan perspektif baru kepada para peserta, membangkitkan harapan, serta rasa percaya diri bahwa kontribusi sekecil apa pun tetap berarti dan penting,” ujar Arinatul Ulya, Ketua Pelaksana Merayakan Muda Kita 3.0.
Ia menegaskan bahwa perubahan besar berawal dari langkah sederhana, yakni keberanian untuk peduli, bertanya, dan terus belajar.
Baca Juga: Efek Domino Banjir Sumatra, Tumpukan Gelondongan Kayu di Pantai Padang Panjang Rusak Ekosistem Laut
Workshop tersebut menghadirkan pemahaman mengenai situasi kebencanaan di Indonesia sepanjang 2024–2025, termasuk jumlah kejadian bencana, tingkat kerusakan infrastruktur, serta dampak kemanusiaan yang tercatat oleh BNPB. Para narasumber menekankan bahwa mitigasi perlu dilakukan secara kolaboratif dan terencana.
Turut hadir dalam acara, Saena Sabrina, Founder Yayasan Adaptasi Bencana Indonesia, menyampaikan bahwa upaya mitigasi dapat diperkuat melalui konsolidasi dengan pihak sekolah, pelatihan bagi guru dan komite sekolah, asesmen mandiri, serta kampanye komunikasi publik guna mencegah disinformasi di tengah masyarakat.
Selain itu, terdapat tiga pendekatan utama dalam mitigasi, yaitu pengurangan bahaya, pengurangan kerentanan melalui mitigasi struktural maupun kultural, pengalihan risiko (risk transfer), serta peningkatan kapasitas melalui kesiapsiagaan.
Baca Juga: Bencana Sumatra, Momentum Evaluasi Pemberian Izin Pemanfaatan Hutan
Kesiapsiagaan menjadi aspek mendasar yang perlu dibangun mulai dari individu. Setiap orang memiliki peran penting dalam mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana. Dalam konteks satuan pendidikan, terdapat empat bentuk kesiapsiagaan yang dapat diterapkan.
Pertama, mengetahui ancaman bencana di wilayah masing-masing. Trinitis Rinowati dari Yayasan Adaptasi Bencana Indonesia juga menjelaskan bahwa salah satu cara memahami tingkat kerentanan adalah dengan memanfaatkan InaRisk, portal pemantauan risiko bencana yang menampilkan informasi ancaman, kerentanan, kapasitas, serta indeks risiko wilayah.
"InaRISK ini bisa kita gunakan melalui ponsel, mudah di akses. Jadi kalau terjadinya gempa, lokasi kita di aplikasi itu akan muncul tanda peringatan merah dan keterangannya.” ujarnya.
Kedua, menyusun rencana kedaruratan secara sistematis, meliputi penataan lingkungan fisik, standar bangunan, pemahaman jalur evakuasi, pengelolaan potensi bahaya di dalam maupun luar bangunan, serta penyediaan sarana prasarana kedaruratan untuk merespons gempa bumi maupun kebakaran.
Ketiga, membentuk Tim Tanggap Darurat sebagai garda koordinasi mitigasi. Tim ini berfungsi memberikan arahan kepada penghuni dan korban bencana, melakukan pertolongan pertama termasuk penggunaan AED (automated external defibrillator) untuk pasien henti jantung, serta memastikan proses evakuasi berjalan aman dan tertib.
Baca Juga: Mengenal Sosok Ferry Irwandi: Penggalang Dana Rp10,3 Miliar untuk Korban Bencana Sumatra
Mochammad Syaiban, staf mitigasi dan diklat bencana DMC Dompet Dhuafa, menekankan agar saat bencana terjadi seseorang tidak kembali mengambil barang yang tertinggal, tetapi segera menuju titik kumpul dan meminjam alat komunikasi dari petugas bila diperlukan untuk menghubungi keluarga.
“Jika alat komunikasi tertinggal, sebaiknya kita abaikan dan segera menyelamatkan diri menuju jalur evakuasi. Setelah itu baru kita bisa menghubungi orang tua dengan cara meminjam alat komunikasi ke teman atau petugas, guna memberi kabar bahwa kita sudah aman dan keluar dari gedung pada saat terjadinya gempa atau kebakaran," terangnya.
Baca Juga: Bencana Sumatra, Rekam Citra Satelit dan Penampakan 2 Ribu Hektare Hutan yang Dirusak
Keempat, melaksanakan latihan atau simulasi berkala guna meningkatkan kesiapan fisik dan mental. Simulasi membantu memahami cara melindungi diri, mengenali jalur evakuasi, serta mengetahui lokasi titik kumpul seperti Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan Tempat Evakuasi Akhir (TEA).
Latihan tersebut juga berfungsi memeriksa kesiapan sarana evakuasi dan sistem peringatan dini. Syaiban juga mengingatkan pentingnya disiplin dalam penggunaan jalur evakuasi, yakni berjalan menurun satu arah agar tidak menghambat pergerakan orang lain.
Kesiapsiagaan bencana ditujukan untuk meminimalkan kerugian serta meningkatkan kesadaran pelajar dan masyarakat dalam menghadapi risiko. Dengan pemahaman yang memadai, perencanaan matang, serta latihan yang berkesinambungan, setiap individu, institusi pendidikan, dan komunitas dapat menjadi bagian aktif dari upaya membangun masa depan yang lebih aman dan tangguh.