Kualitas udara di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, kerap menunjukkan level yang tidak sehat. Salah satu indikator utama dalam indeks kualitas udara adalah PM 2,5 atau  istilah yang mungkin masih terdengar asing bagi banyak orang. Padahal, partikel kecil inilah yang menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat.

“PM 2,5 ini salah satu bentuk ukurannya dari debu halus. Jadi ukurannya itu 2,5 mikron, bahkan tidak terlihat oleh mata karena 13 kali lebih kecil dari sehelai rambut,” tutur Dinda Shabrina, Research & Collaboration Manager NAPAS Foundation, saat press conference sekaligus launching SoKlin Liquid Nature Fresh Detox di Anjungan Sarinah, Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Adapun, kata Dinda, ukuran yang sangat kecil membuat partikel ini dapat masuk jauh ke dalam tubuh manusia.

“Saat terhirup, PM 2,5 tidak hanya berhenti di paru-paru, tapi juga bisa sampai ke pembuluh darah. Dampaknya bukan hanya gatal-gatal atau gangguan pernapasan ringan, tapi juga berpotensi menyebabkan berbagai penyakit serius dalam jangka panjang,” tambah Dinda.

Untuk diketahui, NAPAS Foundation merupakan lembaga independen yang berfokus pada edukasi, riset, dan kegiatan sosial terkait isu kualitas udara.

Melalui aplikasi NAPAS, masyarakat dapat memantau kondisi udara secara real time di lebih dari 20 kota di Indonesia dengan dukungan lebih dari 200 sensor udara yang tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Bali.

“NAPAS Indonesia sekarang menjalankan sepenuhnya operasional pemantauan kualitas udara. Kami juga menyediakan laporan bulanan yang bisa diakses publik melalui website Napas Foundation,” jelas Dinda.

Dinda juga menjelaskan bahwa polusi udara terbagi menjadi dua jenis utama, yakni polutan gas dan polutan partikel. PM 2,5 sendiri, kata dia, termasuk dalam kategori polutan partikel. Karakteristik partikel ini sangat dinamis, berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

“Setiap hari itu selalu berubah. Setiap jam berubah. Bahkan dalam hitungan detik pun bisa berubah. Tempat saya berdiri dan teman-teman yang berdiri beberapa meter di atas pun bisa memiliki paparan polusi yang berbeda,” ungkap Dinda yang berlatar belakang ilmu meteorologi.

Baca Juga: Lawan Polusi Kota Besar, SoKlin Hadirkan Inovasi Detoksifikasi Pakaian Pertama di Indonesia