Pemerintah telah merumuskan kebijakan ambisius untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Fokus utama kebijakan ini mencakup penguatan sektor industri, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta perbaikan iklim investasi. Namun, keberhasilan mencapai target tersebut membutuhkan sinergi kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi dan efisiensi ekonomi.  

Sebagai respons terhadap dinamika awal pemerintahan Prabowo-Gibran, Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF) menggelar diskusi publik bertema "Arah Kebijakan Menuju Ekonomi 8%". Diskusi ini menjadi ajang evaluasi peluang dan tantangan dalam merealisasikan target ambisius tersebut.  

Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, mengapresiasi rencana pemerintah, namun juga menyampaikan pandangan kritisnya. Menurutnya, target ini sulit dicapai tanpa perubahan signifikan pada sektor-sektor utama perekonomian.

Baca Juga: Pro-Kontra Kenaikan PPN Jadi 12%, yang Berdampak Bagi Ekonomi dan Kehidupan Masyarakat

“Pertumbuhan 8% membutuhkan ruang fiskal yang luas, sementara kondisi saat ini menunjukkan peningkatan utang dan rasio pajak yang cenderung turun,” ujarnya dalam diskusi online pada Senin (18/11/2024).

Esther menyoroti dominasi konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama ini. Untuk mencapai 8%, perlu ada diversifikasi mesin ekonomi melalui peningkatan investasi, ekspor, serta pengeluaran pemerintah. 

“Kita harus memperluas basis pertumbuhan, tidak hanya bergantung pada konsumsi rumah tangga,” tambahnya.  

Dalam kesempatan yang sama, Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, menegaskan perlunya fokus pada seratus hari pertama pemerintahan Prabowo untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Baca Juga: Pernah Terjadi di Era Soeharto, Target Prabowo Genjot Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Bukan Mustahil

“Tanpa perbaikan daya beli, target 8% sulit tercapai, mengingat lebih dari separuh perekonomian Indonesia bergantung pada konsumsi masyarakat,” paparnya.

Eko juga menyoroti perlunya mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengimplementasikan kebijakan inovatif seperti “makan bergizi gratis”. Menurutnya, kebijakan yang tepat di awal pemerintahan menjadi game changer untuk keluar dari stagnasi pertumbuhan ekonomi di angka 5%. 

Selain fokus jangka pendek, Riza Annisa, peneliti INDEF, menggarisbawahi pentingnya perbaikan rasio pajak sebagai fondasi keberlanjutan ekonomi. Namun, upaya ini membutuhkan dukungan dari performa sektor industri pengolahan dan daya beli masyarakat.

“Rasio pajak kita saat ini sekitar 10% perlu ditingkatkan menjadi 23% seperti yang ditargetkan pemerintah,” jelasnya.

Baca Juga: Ekonomi Lesu, Fenomena Lipstick Effect ‘Menggebu’

Ahmad Heri Firdaus, peneliti INDEF lainnya, menambahkan bahwa upaya mencapai pertumbuhan 8% memerlukan penyesuaian mendasar pada indikator ekonomi, seperti produktivitas sektor industri dan efisiensi investasi.

“Target ini memaksa kita untuk merombak asumsi ekonomi yang selama ini stagnan,” tegasnya.  

Untuk mendukung visi ini, INDEF menawarkan berbagai strategi. Dalam jangka pendek, fokus utama adalah memperbaiki daya beli, meningkatkan likuiditas untuk pertumbuhan ekonomi, serta mendorong investasi dan efisiensi sektor industri. Sementara itu, jangka panjang diarahkan pada peningkatan kualitas SDM, swasembada pangan dan energi, serta akses layanan dasar seperti perumahan, air, dan sanitasi.  

Meskipun tantangan besar menghadang, optimisme tetap terjaga jika langkah-langkah strategis dapat diimplementasikan dengan efektif. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat diharapkan mampu berkolaborasi menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, target ambisius 8% bukanlah sekadar mimpi, melainkan peluang nyata untuk kemajuan Indonesia.