Wacana pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM)  bersubsidi kembali menggaung sejak beberapa bulan terakhir. Kabarnya, pembelian BBM subsidi akan mulai dibatasi pada 1 Oktober 2024 mendatang, setelah sebelumnya sempat direncanakan pembatasan dimulai pada 17 Agustus 2024 bertepatan dengan HUT ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Lantas, seperti apa perkembangan rencana pembatasan pembelian BBM subsidi yang akan dicanangkan pemerintah? Berikut Olenka rangkum sejumlah informasi terkait seperti dikutip dari berbagai sumber, Jumat (29/8/2024).

Bukan Wacana Baru

Rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi ini bukanlah wacana baru. Bahkan, sudah menjadi wacana yang diulang-ulang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, rencana pembatasan pembelian BBM mulai menjadi pembahasan setelah melejitnya harga minyak mentah pada 2013-2014.

Menukil dari laman CNBC Indonesia, berbagai cara pun sudah dilakukan SBY di era kepemimpinannya untuk mewujudkan rencana tersebut. Di antaranya seperti penggunaan teknologi Radio Frequency Identification (RFID), serta sistem pembayaran non-tunai untuk pembelian BBM.

Pemerintah pun melakukan uji coba teknologi RFID di wilayah Jabodetabek. Sayangnya, uji coba tersebut lantaran adanya kendala pada produksi alat kendali. Bukan hanya itu, minimnya partisipasi masyarakat, serta terbatasnya petugas SPBU terhadap program RFID juga menjadi kendala yang menyebabkan uji coba tersebut gagal dilakukan.

Begitu pun dengan sistem pembayaran non-tunai dengan memperkenalkan Survey Card dan Fuel Card yang juga gagal lantaran memiliki sejumlah kekurangan, seperti kendala top up dan double-checking settlement yang kerap merepotkan petugas SPBU setempat.

Baca Juga: Pertamina Lakukan Groundbreaking Bufferzone Kilang Balongan

Kembali Digodok di Era Pemerintahan Jokowi

Gagal diwujudkan di era Presiden SBY, rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi kembali digodok di pemerintahan Presiden Jokowi. Adapun rencana pembatasan pembelian BBM nantinya akan dilaksanakan setelah adanya Peraturan Menteri (Permen).

Mengutip dari laman Kompas, Presiden Jokowi mengungkap bahwa rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi ini bertujuan untuk mengefisiensi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Melalui pembatasan yang diberlakukan nantinya, kabarnya dapat mengurangi polusi di Jakarta.

Pembatasan pembelian BBM subsidi ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa BBM subsidi tepat sasaran, yakni diberikan kepada mereka sektor-sektor tertentu yang benar-benar membutuhkan. 

Kebijakan RFID juga sempat diterapkan pada 2015, di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Hal tersebut diterapkan setelah adanya kenaikan harga BBM setelah Jokowi mengalihkan anggaran subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur dan pengentasan kemiskinan. Sayangnya, setelah ribuan kendaraan dipasang alat deteksi RFID, pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.

Menukil dari pemberitaan Tempo,  pemerintah juga sempat mengeluarkan Program BBM Satu Harga pada 2016 yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakukan Satu Harga Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus, yang berfokus di luar Jawa, Madura, dan Bali. 

Tak sampai di situ, pemerintah kembali menggaungkan pembatasan subsidi BBM lewat penerapan aplikasi MyPertamina. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan cara membeli BBM lewat aplikasi tersebut. Sejumlah syarat pun diberlakukan agar BBM subsidi tepat sasaran. Sayangnya, kebijakan kembali batal diterapkan.

Kapan Pembatasan Pembelian Subsidi BBM Akan Diberlakukan?

Solar dan Pertalite menjadi jenis BBM yang mendapat subsidi dari pemerintah. Sebelumnya, sempat terendus kabar jika pembatasan pembelian BBM mulai diberlakukan pada 17 Agustus 2024 lalu. 

Wacana tersebut mencuat setelah pernyataan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melalui unggahan di Instagram miliknya, yang kini sudah dihapus. 

"Pemberian subsidi yang tidak tepat (sasaran), itu sekarang Pertamina sudah menyiapkan. Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi. Kita hitung di situ," kata Luhut.

Baca Juga: 1 Agustus 2024 Harga BBM Shell dan BP-AKR Naik, Kalau Pertamina?

Berbeda dengan Luhut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap, rencana pembatasan BBM bersubsidi akan mulai diberlakukan per 1 Oktober 2024.

Menanggapi pernyataan Bahlil, Presiden Jokowi mengungkap bahwa rencana pembatasan tersebut masih dalam proses sosialisasi. Ia menegaskan, pemerintah akan melihat kondisi di masyarakat sebelum memutuskan pembatasan tersebut. Dengan artian, belum ada keputusan resmi mengenai rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi pada Oktober 2024 mendatang.

 "Saya kira kita masih dalam proses sosialisasi, kita akan melihat kondisi di lapangan seperti apa. Belum ada keputusan dan belum ada rapat," tegas Presiden Jokowi seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.

Tuai Kontra dari Banyak Pihak

Adanya rencana terkait pembatasan pembelian BBM bersubsidi turut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.

Mengutip dari laman BBC Indonesia, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno beranggapan, pembatasan pembelian BBM subsidi merupakan kebijakan ambigu. Agus menilai, kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi ini nantinya akan memukul daya beli konsumen yang selama ini sudah menggunakan BBM jenis solar dan Pertalite.

“Di satu sisi, (pemerintah) tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya akan terjadi kenaikan harga bagi konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar (karena) harus migrasi ke BBM nonsubsidi,” ujar Agus.

Begitu pun dengan Komaidi Notonegoro sebagai Pengamat Energi dan ReforMiner Institute. Ia menilai, kebijakan yang sudah diulang-ulang sejak era pemerintahan sebelumnya ini tidak akan pernah mendapatkan hasil yang optimal, dan berpotensi menimbulkan permasalahan dan implementasi.

Baca Juga: Mengulik Rencana Peluncuran BBM Jenis Baru yang Rendah Sulfur

Direktur ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan kebijakan pengaturan BBM bersubsidi tidak akan pernah mendapatkan hasil optimal dan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam implementasi.

Alih-alih mensubsidi BBM, Komaidi menyarankan agar pemerintah menyasar subsidi langsung ke masyarakat.

“Kalau subsidi-nya ke barang, apalagi ke pembatasan-pembatasan, kemungkinan hanya dapat capeknya saja,” kata Komaidi. 

Senada dengan Komaidi, CEO Think Policy Andhyta Fireslly Utami juga beranggapan, anggaran subsidi sebaiknya dipindahkan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) agar tepat sasaran.

“Penghematan fiskal dari pengurangan subsidi seharusnya dialokasikan untuk program yang mendukung masyarakat kelas menengah bawah, rentan, dan miskin," kata Andhyta seperti dikutip dari pemberitaan Tempo

Kabarnya, aturan baru terkait pembelian BBM jenis pertalite akan keluar pekan depan. Kebijakan ini diharapkan dapat membuat penjualan BBM subsidi lebih tepat sasaran dan akan mengurangi subsidi sekira tujuh persen dari kendaraan yang diklaim tak layak menerima subsidi.

Menukil dari CNBC, mobil bensin dengan kapasitas mesin di atas 1.400 Cc tidak lagi diperbolehkan menggunakan Pertalite. Begitu pun dengan mobil diesel berkapasitas mesin di atas 2000 Cc tak lagi diperbolehkan menggunakan solar subsidi.