Sri Fatmawati, S.Si., M.Sc., Ph.D., adalah sosok yang menjadikan sains bukan hanya bidang keahlian, tetapi panggilan hidup. Di Indonesia, namanya melambung sebagai salah satu ilmuwan perempuan paling berpengaruh, terutama melalui kontribusinya dalam kimia bahan alam, kimia medisinal, pengembangan jamu berbasis riset, serta inisiatif sains yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Sebagai dosen di Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, ia juga dipercaya memimpin Taman Sains Teknologi Herbal dan Hortikultura (TSTH2) di Humbang Hasundutan, sebuah pusat riset strategis yang memperkuat posisi Indonesia dalam inovasi herbal nasional.
Dikutip dari laman resmi ITS, rekam jejak akademiknya yang solid menjadikannya salah satu dosen berprestasi dengan kontribusi riset yang diakui baik di dunia akademik maupun industri.
Lantas, seperti apa sosok Sri Fatmawati sesungguhnya dan bagaimana perjalanan panjang yang mengantarnya menjadi salah satu ilmuwan paling berpengaruh di Indonesia? Berikut ulasan Olenka mengenai profil dan kiprahnya, dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (20/11/2025).
Latar Belakang Keluarga
Dikutip dari Detik, Sri Fatmawati lahir pada 3 November 1980 di Pandiyan, Sampang, Madura, sebagai putri sulung dari pasangan Muhammad Munif dan Siti Hasanah.
Ayahnya, seorang guru sekolah dasar, menanamkan keyakinan kuat bahwa pendidikan adalah jalan utama untuk mengangkat derajat seseorang.
“Bapak selalu bilang, meskipun kamu perempuan, kamu harus lebih tinggi pendidikannya dari Bapak. Bapak sering menemani aku belajar. Aku merasa bapak support aku banget,” ungkap Fatma, sapaan akrabnya.
Fatma tumbuh dalam keluarga sederhana bersama dua adik perempuannya, dan sejak kecil akrab dengan aktivitas belajar, memasak, dan karaoke, hobi yang masih ia nikmati hingga kini. Ia juga dikenal sebagai ‘Anak Sungai’ karena kerap bermain di sungai dekat rumahnya di desa kecil di Madura.
Jejak Pendidikan
Perjalanan akademik Fatma dimulai sebagai mahasiswa Kimia ITS. Setelah lulus, ia meraih beasiswa studi lanjut ke Jepang dan berhasil memperoleh gelar Master of Science dan Doctor of Philosophy dari Kyushu University, salah satu universitas riset terkemuka.
Pengalaman internasional ini memperkuat keahliannya di bidang kimia organik, metabolit sekunder, dan bahan alam , disiplin yang kemudian menjadi inti kiprah ilmiahnya di Indonesia.
Pengajaran dan Keahlian
Sebagai akademisi, Fatma mengajar berbagai mata kuliah di tingkat S1 hingga S2, mulai dari Kimia Organik, Kimia Farmasi, Fito-kimia, Sintesis Senyawa Organik, hingga Kimia Minyak Atsiri. Ia juga menjabat sebagai Wakil Kepala Pusat Penelitian Agri-Pangan dan Bioteknologi ITS.
Dalam perannya sebagai pendidik, Fatma dikenal tidak hanya menekankan penguasaan teori, tetapi juga mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan terjun langsung dalam riset laboratorium.
Dikutip dari laman resmi ITS, Fatma memiliki komitmen kuat terhadap eksplorasi senyawa alam, khususnya dari tanaman obat Indonesia. Penelitiannya berfokus pada penemuan senyawa antikanker, antidiabetes, imunomodulator, serta kajian bioaktivitas jamu.
Ia juga menjadi penanggung jawab riset ITS Djamoe, sebuah inisiatif ilmiah untuk menghidupkan kembali budaya minum jamu melalui pendekatan berbasis bukti. Salah satu inovasi dari proyek ini adalah MeniTemu, jamu berbahan dasar meniran dan temulawak yang kaya senyawa aktif untuk meningkatkan imunitas dan menjaga kesehatan hati.
Kepemimpinan dan Inovasi
Sebagai Direktur TSTH2, Fatma memimpin pengembangan riset herbal, konservasi kemenyan, hingga hilirisasi produk kemenyan nasional. Ia menggagas Ekspedisi Peradaban Kemenyan Sumatera untuk menelusuri nilai ilmiah, budaya, dan ekonomi komoditas kemenyan.
Dikutip dari LinkedIn pribadinya, dalam dunia organisasi ilmiah, Fatma memainkan peran kepemimpinan yang kuat melalui berbagai posisi strategis. Ia merupakan Founder sekaligus Chair OWSD Indonesia, pernah menjabat sebagai President Indonesian Young Academy of Sciences (ALMI), dan kini menjadi anggota Executive Committee Global Young Academy (GYA).
Kiprah kepemimpinannya ini semakin mempertegas posisinya sebagai salah satu figur penting yang mendorong kemajuan ilmuwan perempuan Indonesia di panggung global.
Baca Juga: Mengenal Profesor Adi Utarini: Ilmuwan di Balik Kesuksesan Program Pembasmian Nyamuk Demam Berdarah
Penghargaan dan Pengakuan
Masih dikutip dari LinkedIn pribadinya, Fatma tercatat telah mengoleksi lebih dari 30 penghargaan ilmiah, dengan sekitar separuhnya berasal dari lembaga internasional.
Rekam jejak prestasinya dimulai dari International Rising Talents – L’Oreal UNESCO for Women in Science yang ia terima di Paris pada 2013, disusul Early Chemist Award pada perhelatan International Chemical Congress of Pacific Basin Societies di Hawaii pada 2015, serta Elsevier Foundation Award di Washington DC pada 2016.
Pengakuan internasional terus mengalir, termasuk Hitachi Global Foundation Asia Innovation Award di Tokyo pada 2023, Willmar Schwabe Award di Krakow pada 2024, dan Female Science Talents Intensive Tracks yang diselenggarakan Falling Walls di Berlin pada 2024.
Pada tahun yang sama, ia juga menerima Grassroots Science Advice Promotion Award dari INGSA Asia dan masuk dalam daftar Top 100 Asian Scientist (2024).
Fatma bahkan menjadi satu-satunya ilmuwan perempuan Indonesia yang terpilih sebagai pemenang di ajang Female Science Talents 2024 di Berlin, sebuah pencapaian yang semakin menegaskan reputasinya di panggung global.
Aktivitas Internasional dan Kontribusi Sosial
Fatma aktif berkolaborasi dengan berbagai institusi dunia, seperti MIT, Harvard University, Kyushu University, Tokyo University, NTU Singapore, TWAS, hingga OWSD, baik sebagai peneliti maupun pembicara di forum bergengsi, termasuk UN Science Summit 76 dan World Laureates Forum.
Di luar laboratorium, Fatma mengintegrasikan sains dengan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai inisiatif yang menyentuh langsung kehidupan banyak orang.
Dikutip dari Wikipedia, ia juga pernah mendampingi petani herbal di kaki Gunung Kelud untuk meningkatkan kualitas produk, memperkenalkan sains jamu kepada siswa dari tingkat SD hingga SMA, serta mengajar anak-anak di Flores dan Alor untuk membuka akses pengetahuan yang lebih luas.
Kiprahnya juga menjangkau komunitas internasional melalui program pemberdayaan di Sarawak, Sabah, dan Chiang Mai. Bagi Fatma, sains bukan sekadar penelitian di ruang tertutup, tetapi jembatan yang mampu membawa perubahan sosial nyata.
Pesan untuk Generasi Muda
Dikutip dari Merdeka, Fatma adalah salah satu dosen kebanggaan ITS yang keilmuannya diakui dunia internasional. Jejaknya menggabungkan penelitian, pengabdian, dan diplomasi ilmu pengetahuan, sekaligus membuka jalan bagi lebih banyak perempuan Indonesia untuk menembus kancah sains global.
Dikutip dari Kompas, Fatma menyampaikan pesan yang menggugah bagi para calon ilmuwan muda. Ia mengingatkan bahwa masa muda adalah fase dengan ruang gerak paling luas, saat batas hanya ada jika kita menciptakannya sendiri.
“Ketika muda itu ruang gerak sangat tak terbatas. Kembangkan passion-mu, kenali minatmu, dan jangan menunggu kesempatan datang, ambil dan mulai sekarang,” tuturnya.
Pesan Fatma tersebut terbilang tegas sekaligus hangat, yang mencerminkan keyakinannya bahwa langkah kecil yang berani hari ini bisa menentukan masa depan sains Indonesia.
Dalam dirinya bertemu tiga hal, yakni rasa ingin tahu ilmiah, kecintaan pada budaya Nusantara, dan komitmen memberdayakan manusia. Ia bukan sekadar peneliti, tetapi simbol bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi kekuatan transformatif bagi keluarga, masyarakat, bangsa, hingga dunia.
Support System
Keberhasilan Fatma tidak terlepas dari dukungan suaminya, Adi Setyo Purnomo, S.Si., M.Sc., Ph.D., yang juga merupakan dosen ITS. Dikutip dari Detik, keduanya bertemu saat kuliah di Teknik Kimia ITS angkatan 1998, lulus bersama, menikah, lalu melanjutkan studi S2 dan S3 di Kyushu University, Jepang.
Sebagai pasangan ilmuwan, mereka kerap berdiskusi soal penelitian dan saling menguatkan dalam karier akademik. Kini, mereka membesarkan dua anak, yaitu Fahira Yumiko Azzahra dan Filza Michiko Farzama, sambil tetap aktif berkarya.
Meski telah mengantongi puluhan penghargaan internasional, mimpi Sri Fatmawati tak pernah mengecil. Justru semakin tinggi.
Dikutip dari Detik, ia pernah mengungkapkan ambisi yang mungkin terdengar luar biasa bagi sebagian orang, namun terasa begitu wajar bagi seseorang dengan dedikasi sepertinya.
“Namanya mimpi harus tinggi, setinggi langit, aku ingin meraih Nobel,” ungkap Fatma.
Baca Juga: Mengenal Carina Citra Dewi Joe: Perempuan Ilmuwan Indonesia di Balik Inovasi Vaksin AstraZeneca