Gaya Kepemimpinan 2: Koneksi dan Kolaborasi

Gaya kepemimpinan kedua ini mengalihkan fokus dari keahlian individu ke membangun hubungan dan mendorong kolaborasi. Para pemimpin mulai memahami pentingnya akses ke berbagai perspektif, wawasan kolektif, dan bakat serta pengalaman orang lain.

Meskipun gaya kepemimpinan ini memperluas cakrawala seorang pemimpin, gaya ini sering kali membawa sisa-sisa pendekatan yang sudah ketinggalan zaman. Jejaring dan kolaborasi cenderung mengikuti metode yang klise dan cocok untuk semua orang, gagal untuk sepenuhnya menangkap individualitas orang-orang yang terlibat.

Risiko menganut gaya ini adalah bahwa para pemimpin menjadi puas dengan akses sebagai tujuan akhir, daripada memanfaatkan koneksi ini untuk menciptakan peluang dengan tujuan yang lebih berkelanjutan.

Para pemimpin yang mengadopsi gaya kepemimpinan kedua ini harus bertanya pada diri mereka sendiri, "Bagaimana saya menggunakan hubungan ini secara strategis? Apakah saya menciptakan lingkungan kerja di mana kontribusi unik orang tidak hanya diakui tetapi juga selaras secara strategis dengan hasil yang diinginkan organisasi?” Tanpa strategi yang disengaja, Gaya 2 dapat jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti Gaya 1—mengganti isolasi dengan akses.

Gaya Kepemimpinan 3: Kesadaran Diri, Tujuan, dan Kesejahteraan

Dengan gaya kepemimpinan ketiga ini, organisasi dan individu sama-sama menuntut pemimpin yang memprioritaskan kesadaran diri, tujuan, dan kesejahteraan—tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk orang-orang yang mereka pimpin.

Gaya kepemimpinan ketiga ini merupakan transisi dari gaya kepemimpinan tradisional yang disebutkan 1 dan 2. Gaya ini mengakui bahwa karyawan sekarang adalah konsumen dengan pilihan dan opsi karier.

Mereka tidak selalu yakin dengan apa yang coba dijual oleh pemimpin mereka (missal, misi, visi, cara kerja, dll.). Karyawan jauh lebih terinformasi dan berpengetahuan tentang apa yang diharapkan dari pemimpin mereka daripada sekadar kompetensi. Mereka menginginkan pemimpin yang meluangkan waktu untuk memahami apa yang penting bagi mereka (bukan hanya menginginkan hal-hal yang penting bagi organisasi).

Para pemimpin kini harus menciptakan lingkungan kerja yang membuat orang merasa bebas dari penilaian, dan berdaya untuk bereksperimen serta menemukan peluang baru. Karyawan tidak cukup terinspirasi untuk mengikuti pedoman yang tidak mempertimbangkan ide dan cita-cita. Mereka menginginkan lebih banyak kebebasan untuk membentuk pengalaman mereka sendiri di tempat kerja dengan tujuan mendorong hasil yang lebih baik.

Gaya kepemimpinan ini bukan sekadar memimpin dengan autentisitas, melainkan menyelaraskan aspirasi pertumbuhan pribadi karyawan dengan tujuan organisasi untuk menciptakan evolusi bisnis yang langgeng, bukan lagi sekadar substitusi.

Gaya kepemimpinan ini tentang memahami bahwa kesejahteraan dan tujuan bukan lagi sekadar aktivitas "centang kotak"; keduanya penting untuk membina lingkungan tempat orang-orang berkembang dengan didorong untuk mengeluarkan kemampuan dan kapasitas mereka.

Dengan gaya ini, pemimpin harus bergerak melampaui sekadar berfokus pada "angka" dengan terhubung lebih dalam dengan orang lain, menciptakan budaya yang memprioritaskan kemanusiaan sama seperti ambisi. Ketika ini terjadi, angka-angka berkembang pesat.

Baca Juga: Tips untuk Para CEO Agar Dapat Membangun Hubungan yang Sehat dengan Dewan Direksi