Gaya kepemimpinan berevolusi karena dunia terus berevolusi. Cara kita memimpin 5 tahun lalu mungkin berhasil di masa lalu, tetapi dalam lanskap yang berubah cepat saat ini, cara-cara itu tidak lagi cukup.
Orang-orang telah berubah. Pekerjaan telah berubah. Kebutuhan produk dan layanan berubah dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apa yang berhasil bagi para pemimpin sebelumnya belum tentu berhasil sekarang.
Tanpa strategi, pendekatan kepemimpinan menjadi substitusi bukan evolusi yang mengganti satu metode atau kerangka kerja tingkat permukaan dengan yang lain, gagal mengatasi transformasi yang lebih mendalam yang diperlukan untuk menghadapi tantangan saat ini.
Evolusi kepemimpinan menuntut tindakan yang disengaja, tujuan yang jelas, dan kemauan untuk beralih dari praktik-praktik lama yang dihargai di masa lalu yang tidak lagi terhubung dengan dan secara kolektif menginspirasi orang-orang, atau organisasi kita.
Dikutip dari Forbes, Jumat (14/3/2025), berikut adalah tiga gaya kepemimpinan yang mewakili pemahaman progresif tentang apa artinya memimpin secara efektif di dunia yang berubah dengan cepat.
Setiap gaya dibangun di atas gaya berikutnya, mengundang para pemimpin untuk memeriksa keterbatasan metode tradisional dan beradaptasi dengan pendekatan yang lebih transformasional yang dibutuhkan sekarang.
Gaya Kepemimpinan 1: Pengetahuan dan Keahlian
Gaya kepemimpinan pertama ini mencerminkan pola pikir yang diajarkan kepada banyak dari kita, yaitu keyakinan bahwa penguasaan keterampilan dan pengetahuan teknis adalah kunci kesuksesan.
Selama beberapa dekade, cara berpikir ini memposisikan kepemimpinan sebagai daftar kompetensi yang harus diperoleh dan dipraktikkan untuk mendorong hasil tertentu. Idenya sederhana: semakin banyak yang Anda ketahui, semakin baik kinerja Anda.
Untuk sementara waktu, cara ini berhasil. Cara ini menciptakan pemimpin yang cakap dan terampil dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Namun, dalam lingkungan yang serba cepat dan tidak stabil saat ini, kepemimpinan membutuhkan lebih dari itu.
Pendekatan tradisional dalam menguasai keahlian teknis ini sering kali mengabaikan kecerdasan emosional, kemampuan beradaptasi, dan keterampilan relasional yang menginspirasi hubungan dan mendorong perubahan jangka panjang.
Gaya kepemimpinan ini menjadi siklus substitusi, menukar satu set kompetensi dengan yang lain, tanpa mencapai kesadaran diri dan tujuan yang lebih dalam yang dituntut oleh kepemimpinan modern.
Pemimpin yang mengadopsi gaya ini harus mulai bertanya pada diri sendiri bukan hanya "Apa yang saya ketahui?" tetapi "Bagaimana saya menggunakan apa yang saya ketahui untuk membuat orang merasa diperhatikan, dihormati, dan diberdayakan?".
Ini bukan lagi tentang apa yang Anda ketahui, tetapi apa yang Anda lakukan dengan apa yang Anda ketahui. Mungkin gaya kepemimpinan ini terungkap saat dalam praktik, dapat memberikan hasil yang tidak konsisten dalam lingkungan bisnis modern saat ini.
Baca Juga: 3 Strategi yang Dapat Dilakukan Para CEO untuk Menghindari Stres
Gaya Kepemimpinan 2: Koneksi dan Kolaborasi
Gaya kepemimpinan kedua ini mengalihkan fokus dari keahlian individu ke membangun hubungan dan mendorong kolaborasi. Para pemimpin mulai memahami pentingnya akses ke berbagai perspektif, wawasan kolektif, dan bakat serta pengalaman orang lain.
Meskipun gaya kepemimpinan ini memperluas cakrawala seorang pemimpin, gaya ini sering kali membawa sisa-sisa pendekatan yang sudah ketinggalan zaman. Jejaring dan kolaborasi cenderung mengikuti metode yang klise dan cocok untuk semua orang, gagal untuk sepenuhnya menangkap individualitas orang-orang yang terlibat.
Risiko menganut gaya ini adalah bahwa para pemimpin menjadi puas dengan akses sebagai tujuan akhir, daripada memanfaatkan koneksi ini untuk menciptakan peluang dengan tujuan yang lebih berkelanjutan.
Para pemimpin yang mengadopsi gaya kepemimpinan kedua ini harus bertanya pada diri mereka sendiri, "Bagaimana saya menggunakan hubungan ini secara strategis? Apakah saya menciptakan lingkungan kerja di mana kontribusi unik orang tidak hanya diakui tetapi juga selaras secara strategis dengan hasil yang diinginkan organisasi?” Tanpa strategi yang disengaja, Gaya 2 dapat jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti Gaya 1—mengganti isolasi dengan akses.
Gaya Kepemimpinan 3: Kesadaran Diri, Tujuan, dan Kesejahteraan
Dengan gaya kepemimpinan ketiga ini, organisasi dan individu sama-sama menuntut pemimpin yang memprioritaskan kesadaran diri, tujuan, dan kesejahteraan—tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk orang-orang yang mereka pimpin.
Gaya kepemimpinan ketiga ini merupakan transisi dari gaya kepemimpinan tradisional yang disebutkan 1 dan 2. Gaya ini mengakui bahwa karyawan sekarang adalah konsumen dengan pilihan dan opsi karier.
Mereka tidak selalu yakin dengan apa yang coba dijual oleh pemimpin mereka (missal, misi, visi, cara kerja, dll.). Karyawan jauh lebih terinformasi dan berpengetahuan tentang apa yang diharapkan dari pemimpin mereka daripada sekadar kompetensi. Mereka menginginkan pemimpin yang meluangkan waktu untuk memahami apa yang penting bagi mereka (bukan hanya menginginkan hal-hal yang penting bagi organisasi).
Para pemimpin kini harus menciptakan lingkungan kerja yang membuat orang merasa bebas dari penilaian, dan berdaya untuk bereksperimen serta menemukan peluang baru. Karyawan tidak cukup terinspirasi untuk mengikuti pedoman yang tidak mempertimbangkan ide dan cita-cita. Mereka menginginkan lebih banyak kebebasan untuk membentuk pengalaman mereka sendiri di tempat kerja dengan tujuan mendorong hasil yang lebih baik.
Gaya kepemimpinan ini bukan sekadar memimpin dengan autentisitas, melainkan menyelaraskan aspirasi pertumbuhan pribadi karyawan dengan tujuan organisasi untuk menciptakan evolusi bisnis yang langgeng, bukan lagi sekadar substitusi.
Gaya kepemimpinan ini tentang memahami bahwa kesejahteraan dan tujuan bukan lagi sekadar aktivitas "centang kotak"; keduanya penting untuk membina lingkungan tempat orang-orang berkembang dengan didorong untuk mengeluarkan kemampuan dan kapasitas mereka.
Dengan gaya ini, pemimpin harus bergerak melampaui sekadar berfokus pada "angka" dengan terhubung lebih dalam dengan orang lain, menciptakan budaya yang memprioritaskan kemanusiaan sama seperti ambisi. Ketika ini terjadi, angka-angka berkembang pesat.
Baca Juga: Tips untuk Para CEO Agar Dapat Membangun Hubungan yang Sehat dengan Dewan Direksi