Di tengah sorotan global terhadap proyek-proyek pengembangan di Taman Nasional Komodo, lembaga internasional UNESCO kembali menyampaikan perhatian serius atas potensi ancaman terhadap status kawasan tersebut sebagai Situs Warisan Dunia. Dalam pernyataan resminya yang dirilis di situs UNESCO, lembaga itu mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa tidak ada proyek pembangunan yang mengganggu Outstanding Universal Value (OUV) dari taman nasional yang menjadi rumah bagi satwa purba Komodo tersebut.
Namun di balik peringatan tersebut, UNESCO juga membuka ruang bagi pendekatan alternatif yang berpotensi mendukung upaya konservasi melalui kemitraan yang tepat. Salah satu contoh yang mencuat adalah PT Palma Hijau Cemerlang (PHC)—perusahaan yang menjalin kerja sama langsung dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dalam pengelolaan lahan seluas 5.815,3 hektare di Pulau Padar.
Baca Juga: Keren! 4 Perempuan Peneliti Ini Raih Penghargaan L’Oréal-UNESCO For Women in Science 2024
Berbeda dari proyek-proyek lain yang menimbulkan kekhawatiran publik karena skala pembangunan infrastrukturnya, kehadiran PHC justru disebut oleh Kepala BTNK, Hendrikus Siga, sebagai bentuk dukungan untuk membantu konservasi. Model kerja sama ini dinilai sebagai pendekatan kolaboratif yang potensial, di mana sektor swasta tidak semata hadir untuk mengeksploitasi alam, tetapi ikut terlibat dalam menjaga keberlanjutan kawasan.
Meskipun belum diungkapkan secara penuh mengenai bentuk kegiatan PHC di Pulau Padar, pengamat menilai bahwa pola kemitraan konservasi seperti ini bisa menjadi solusi di tengah tarik-menarik antara kepentingan pelestarian dan pembangunan. Apalagi, UNESCO juga menyerukan agar setiap proyek wisata harus dikaji secara menyeluruh dan melibatkan pemangku kepentingan secara transparan—prinsip yang dapat diperkuat dalam pola kemitraan seperti yang dijalin PHC dan BTNK.
Dalam dokumennya, UNESCO menyoroti pentingnya menyeimbangkan pengembangan pariwisata dengan pelestarian nilai-nilai ekologi kawasan. Pemerintah diminta untuk mengevaluasi seluruh izin usaha dan potensi dampaknya terhadap OUV serta menyerahkan laporan konservasi terbaru sebelum 1 Desember 2026.
Di sisi lain, komitmen untuk penguatan pengelolaan, termasuk dalam regulasi kapal wisata dan upaya menjaga populasi komodo, juga menjadi perhatian utama. UNESCO mengapresiasi klaim stabilnya populasi komodo dan meminta pemantauan berkala tetap dilakukan sebagai bentuk perlindungan jangka panjang.
Sejumlah pihak melihat bahwa keberadaan PHC berpotensi memperkuat tata kelola konservasi jika langkah-langkah operasional perusahaan dibuka secara akuntabel dan selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan kapasitas dan pengalaman korporasi nasional seperti PHC, kehadiran investor justru bisa diarahkan sebagai kekuatan pendukung konservasi—bukan ancaman.
Dalam konteks ini, PHC dapat menjadi inisiatif positif bagi pelaku usaha lain untuk menempuh pendekatan serupa: berinvestasi sembari menjaga kelestarian warisan dunia yang tak ternilai. Jika dilakukan dengan benar, Pulau Padar bisa menjadi contoh nyata bahwa investasi dan konservasi bisa berjalan beriringan.