Menurutnya, rencana penambahan lahan baru harus dibarengi dengankebijakan reforestasi atau aforestasi. Hal tersebut penting dilakukan karena Indonesia telah komitmen ikut menjaga perubahan iklim.
Adapun, reforestasi sendiri merupakan proses menanam kembali pohon di lahan yang sebelumnya telah gundul atau terdegradasi. Sementara, aforestasi adalah pembentukan hutan atau penegakan pepohonan di area yang sebelumnya bukan hutan.
“Mungkin kalau memang yang dimaksudkan tidak akan melakukan konversi dari hutan alam kita sangat mendukung ya. Tapi kalau kita menerjemahkan bahwa itu kita tidak peduli terhadap persoalan mengenai keberlanjutan dari sumber daya alam sendiri, kita salah juga,” terangnya.
“Jadi justru kita harus melihat tantangan berkelanjutan itu muncul dari kita sendiri. Jadi harus kita berpikir untuk generasi mendatang. Jangan sampai menghancurkan lingkungan, menurut saya seperti itu,” lanjutnya.
Bustanul yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung ini juga mengatakan bahwa selama ini, Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri sawit. Misalnya untuk standar dunia, Indonesia sudah mengikuti RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil).
Bahkan, di dalam negeri, Indonesia pun sudah menerapkan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Menurutnya, hal tersebut telah mendapatkan apresiasi dari komunitas internasional.
“Jadi kita sudah mencanangkan ISPO yang mandatori itu wajib ya, kita menjadi salah satu alternatif dari RSPO yang sudah duluan, yang sudah di-create oleh global. Sehingga Indonesia untuk bertekad melakukan sertifikasi sendiri,” paparnya.
“Bukan sertifikasi saja, tapi kira-kira Anda tidak akan menebang sawit di dalam hutan, kemudian tidak akan menanam sawit di lahan gambut. Bagaimana kalau sudah terlanjur? Nah kalau sudah terlanjur itu yang sedang dicoba selesaikan oleh task force, ya,” pungkasnya.
Baca Juga: Kebijakan Baru Penataan Lahan Sawit, Fokus pada Keadilan Sosial dan Keberlanjutan Ekonomi