Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan salah satu virus pernapasan yang paling sering menginfeksi anak, terutama usia di bawah dua tahun. Meski umum terjadi, penyakit ini masih kerap tidak dikenali, bahkan oleh sebagian tenaga kesehatan.

Hal ini disampaikan oleh Prof. dr. Cissy Rachiana Sudjana Prawira, Sp.A(K), MSc, Ph.D., Konsultan Respirologi Anak, dalam paparannya mengenai pentingnya pemahaman dan pencegahan RSV.

“RSV itu adalah respiratory syncytial virus, virus yang menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Penyakit ini sudah lama ada, tapi sering tidak disadari atau tidak dikenal, bahkan oleh dokter,” tutur Prof. Cissy, saat sesi edukasi bertajuk 'Kenali RSV, Selamatkan Bayi Berisiko Tinggi', yang digagas AstraZeneca Indonesia, di The Westin, Jakarta, Kamis (20/11/2025).

Menurut Prof. Cissy, salah satu alasan minimnya kesadaran terhadap RSV ialah karena pada masa lalu penyakit ini jarang dibahas dalam pendidikan kedokteran.

“Banyak dokter senior yang dulu tidak mendapatkan pengetahuan ini di bangku kuliah. Padahal antibodinya saja sudah ditemukan lebih dari 25 tahun lalu,” jelasnya.

Prof. Cissy melanjutkan, RSV ini dapat menginfeksi semua usia, namun paling sering menyerang bayi dan balita di bawah usia dua tahun.

Cara Penularan Mirip COVID-19

Dikatakan Prof. Cissy, RSV menyebar melalui droplet saat seseorang batuk, bersin, atau berbicara. Virus dapat bertahan hidup di permukaan benda keras, sehingga mudah berpindah ke tubuh ketika tangan menyentuh mata, hidung, atau mulut.

“Anak sering kali terpapar RSV di luar rumah, di sekolah, tempat penitipan, lalu membawa virus itu ke rumah dan menulari anggota keluarga lain,” tutur Prof. Cissy.

Penelitian luar negeri pun, kata Prof. Cissym menunjukkan bahwa hampir semua anak pernah terpapar RSV sebelum usia dua tahun.

Gejala

Prof. Cissy menuturkan, infeksi RSV bisa menimbulkan gejala ringan menyerupai flu, tetapi pada sebagian anak, infeksi dapat berkembang menjadi bronkiolitis atau pneumonia.

Gejala RSV dapat muncul mulai dari yang ringan hingga berat. Pada tahap awal, anak biasanya mengalami keluhan seperti hidung tersumbat atau meler, batuk dan bersin, demam, serta penurunan nafsu makan. Namun pada beberapa kasus, terutama pada bayi dan anak berisiko tinggi, gejalanya dapat berkembang menjadi lebih serius.

Tanda yang perlu diwaspadai antara lain napas yang menjadi lebih cepat dari biasanya, kesulitan bernapas, bunyi napas mengik (wheezing) menyerupai asma, hingga bayi tampak sangat rewel, tidak mau minum, atau terlihat lemas.

“Kalau napasnya lebih cepat dari biasanya, itu harus hati-hati. Itu berarti infeksinya sudah sampai ke paru-paru, gejala awal pneumonia,” tegas Prof. Cissy.

Prof. Cissy melanjutkan, gejala biasanya muncul 4–6 hari setelah terpapar, dan anak dapat menularkan virus selama 1–2 minggu.

Kelompok Berisiko Tinggi

Prof. Cissy menjelaskan bahwa beberapa kelompok anak memiliki risiko jauh lebih tinggi mengalami gejala berat ketika terinfeksi RSV. Bayi prematur, bayi berusia di bawah dua bulan, anak dengan penyakit paru kronis seperti bronchopulmonary dysplasia, serta anak dengan penyakit jantung bawaan cenderung menghadapi perjalanan penyakit yang lebih serius.

Selain itu, anak-anak dengan gangguan imun, termasuk mereka yang sedang menjalani kemoterapi, juga lebih rentan mengalami infeksi RSV yang berat dan membutuhkan penanganan medis intensif.

“Pada kelompok risiko tinggi, bronkiolitis bisa menjadi sangat berat hingga membutuhkan oksigen, perawatan intensif, bahkan ventilator,” ujar Prof. Cissy.

Menurut Prof. Cissy, diagnosis RSV hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan usap (swab). Pada kasus berat, dokter dapat melakukan pemeriksaan darah atau rontgen dada.

Adapun, komplikasi yang dapat terjadi seperti pneumonia berat, infeksi telinga Tengah, dan serangan asma setelah sembuh

“Asma sering muncul beberapa waktu setelah anak terkena RSV,” jelas Prof. Cissy.

Baca Juga: Mengenal RSV: Langkah Penting Menyelamatkan Bayi Prematur dari Risiko Infeksi Berat

Pengobatan dan Pencegahan

Dipaparkan Prof. Cissy, hingga saat ini tidak ada obat khusus yang dapat membunuh virus RSV. Pengobatan yang diberikan bersifat suportif, seperti mengatasi demam, memastikan anak mendapatkan cukup cairan, menjaga lingkungan tetap bebas asap rokok, hingga memberikan oksigen bila diperlukan.

Pada kasus yang lebih berat, anak membutuhkan perawatan inap agar dapat dipantau dan ditangani secara optimal.

Sementara itu, upaya pencegahan RSV dilakukan melalui langkah-langkah sederhana yang serupa dengan pencegahan COVID-19, yaitu menjaga kebersihan tangan dengan rutin mencuci tangan, menggunakan masker saat sedang sakit, memastikan kebersihan lingkungan serta permukaan benda yang sering disentuh, menghindari penggunaan alat makan bersama, dan menjaga kebersihan mainan anak agar tidak menjadi sumber penularan.

Imunisasi Pasif untuk Bayi Risiko Tinggi

Dikatakan Prof. Cissy, saat ini belum ada vaksin RSV untuk anak, tetapi ada pilihan imunisasi pasif menggunakan monoklonal antibody (palivizumab).

“Monoklonal antibody ini adalah antibodi siap pakai. Begitu disuntikkan, dia langsung bekerja tanpa perlu menunggu tubuh membentuk respons imun,” jelas Prof. Cissy.

Rekomendasi dari IDAI 2025 mencakup pemberian palivizumab untuk bayi-bayi dengan risiko tinggi seperti prematur, penyakit paru kronis, atau penyakit jantung bawaan.

Dosis diberikan secara intramuskular setiap 30 hari selama musim penularan RSV.

Prof. Cissy juga menuturkan, di Indonesia, pemeriksaan RSV memang belum tersedia luas, tetapi tetap penting untuk meningkatkan kewaspadaan, terutama pada bayi dan anak berisiko tinggi.

“Yang penting, kita harus mencegah. Dan sekarang kita sudah punya imunisasi pasif untuk melindungi bayi-bayi kita. Semoga dengan pencegahan ini, kita bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi,” tutup Prof. Cissy.

Baca Juga: Cacar Air Tengah Mewabah di Sekolah, Lindungi Anak dengan Vaksin Varisela, Segera!