Perjuangan Lahir Batin Ciputra dalam Membebaskan Lahan Proyek Senen
Pembebasan tanah untuk Proyek Senen bukanlah tugas mudah bagi Ciputra dan timnya. Setiap hari mereka harus menghadapi emosi warga yang menolak dipindahkan. Bagi Ciputra, ini adalah ujian lahir batin yang menguras energi.
Penduduk dan pedagang yang bersedia pindah segera diantar ke kawasan Kramat Sentiong dan Johar Baru, yang letaknya tidak jauh dari Pasar Senen. Namun, masih banyak yang berontak dan menentang dengan keras.
Tim Ciputra terus membujuk mereka dengan sabar. Ia menggambarkan situasi di lapangan sebagai salah satu fase tersulit dalam hidupnya.
“Jangan ditanya betapa hebatnya terjangan emosi yang terjadi di lapangan. Bukan main! Ini sungguh perjuangan lahir batin,” kenang Ciputra.
Di tengah hiruk pikuk proyek itu, ia tetap harus menyiapkan gambar-gambar kerja detail bersama para arsitek di kantor. Ia berusaha menahan emosinya agar fokusnya tidak buyar oleh tekanan lapangan.
Saat itu, Ciputra membangun rumah sementara untuk keluarganya di Cempaka Putih. Rumah kayu sederhana itu berdiri di atas tanah becek, berdampingan dengan rumah Sofyan dan Brasali. Meski sederhana, rumah itu cukup lapang dan nyaman bagi keluarganya.
“Saya katakan pada Dee, kami tak akan berlama-lama tinggal di sini. Paling lama dua tahun, tapi saya akan mengusahakan kurang dari itu, kami sudah bisa pindah ke rumah yang lebih layak,” papar Ciputra kepada sang istri kala itu.
Rina, anaknya, juga saat itu sudah mulai sekolah. Ciputra bersyukur saat itu ia sudah bisa membeli sebuah mobil Jeep. Namun, saat hujan deras turun, tanah di sekitar rumah berubah menjadi bubur lumpur, menyulitkan mobil untuk bergerak. Rina pun menenteng sepatunya dan berjalan bertelanjang kaki melintasi tanah licin itu dengan tabah.
Sementara itu, di lapangan, meskipun beberapa area di Pasar Senen berhasil dibebaskan, proyek belum bisa berjalan sepenuhnya karena masih banyak warga yang menolak pindah. Ciputra pun khawatir dengan kondisi keuangan perusahaan.
“Saya khawatir dana akan habis perlahan-lahan untuk mengurusi problem di lapangan. Jika diizinkan, saya akan membangun sejumlah rumah tinggal di kawasan Jakarta Barat. Akan saya jual rumah-rumah itu sehingga modal kita bertambah banyak,” usul Ciputra kala itu.
Usul itu disetujui. Maka, PT Pembangunan Jaya pun memulai pembangunan perdananya di Jakarta Barat, tepatnya di kawasan yang kini dikenal sebagai Jalan Jenderal S. Parman di Slipi.
Keputusan ini menjadi langkah awal strategis Ciputra dalam menyeimbangkan pembangunan proyek dengan menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Baca Juga: Bersama dalam Keterbatasan: Kisah Tahun Pertama Pernikahan Ciputra
Strategi Berani Ciputra Menuntaskan Proyek Senen
Ketika menghadapi tantangan pembebasan lahan Proyek Senen yang tak kunjung rampung, Ciputra mengambil keputusan strategis yang menentukan masa depan perusahaan. Ia mengusulkan untuk memutar dana dengan membangun perumahan di kawasan Jakarta Barat.
Ia dan timnya membangun 26 rumah di atas lahan seluas 200 meter persegi per unit. Proses pembangunannya berjalan cepat karena dikerjakan oleh orang-orang pintar dan berpengalaman, serta kontraktor luar yang andal. Hasilnya pun memuaskan.
“Betapa puasnya saya akan hasilnya. Rumah-rumah itu begitu elegan dan simple, ruang-ruangnya efisien dan berdaya fungsi tinggi,” kenang Ciputra dengan bangga.
Rumah-rumah tersebut ludes terjual dalam waktu singkat. Sejumlah bank besarseperti BNI, BRI, Bank Indonesia, BBD, hingga Bapindo, memborongnya untuk dijadikan perumahan bagi para pejabat mereka. Semua bank itu membayar lunas, membuat kas perusahaan berlipat ganda dibandingkan modal awal.
“Saya lega sekali bisa merealisasikan apa yang selama ini saya impikan: membangun rumah berdasarkan idealisme saya dan kemudian mencari pembelinya. Saya yakin tidak sulit menjual rumah yang baik,” ungkap Ciputra.
Dana hasil penjualan rumah itu menjadi amunisi penting untuk melanjutkan pembebasan tanah Proyek Senen, yang semakin hari semakin menegangkan. Keributan di lapangan kerap terjadi. Ciputra dan timnya sering menjadi pihak yang mengalah, karena mereka memahami emosi dan kesedihan penduduk yang tergusur.
Namun, masalah tak berhenti di situ. Preman-preman berdatangan ke area yang sudah dibebaskan, menuntut uang dengan ancaman. Proyek ini menjadi ujian mental, keberanian, dan strategi hidup.
Lahan demi lahan mulai berhasil dibebaskan. Selain memindahkan penduduk dan pedagang Pasar Senen, tim juga memindahkan titik-titik pelacuran, terutama di Gang Wangseng. Sementara itu, para pelaku industri rumahan relatif lebih mudah direlokasi ke lahan seluas 19 hektare di Cempaka Putih.
Namun, salah satu proses paling dramatis adalah saat mereka harus memindahkan puluhan ribu makam Tionghoa dari Kramat Sentiong ke Jelambar. Pada hari pemindahan, suasana begitu heboh. Keluarga para jenazah menyerbu pemakaman untuk memastikan tulang-belulang kerabat mereka dipindahkan dengan aman.
Di tengah hiruk-pikuk itu, buldoser mulai meratakan tanah makam. Tapi, ribuan orang mendadak datang menghambat pekerjaan. Mereka menyerbu setiap lubang kubur dan mengais tanah dengan tangan kosong. Rupanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak jenazah Tionghoa dikuburkan bersama perhiasan mereka. Harapan menemukan harta karun pun membuat suasana menjadi kacau.
Tangisan keluarga yang belum selesai memindahkan jenazah bercampur dengan teriakan dan hiruk-pikuk orang-orang yang mencari perhiasan. Situasi pun berubah menjadi pemandangan yang menggetarkan hati.
“Mereka beraksi di tengah pekik teriakan keluarga jenazah yang belum beres mengambil jenazah. Heboh,” tandas Ciputra.
Nah Growthmates, proyek Senen menjadi saksi bagaimana visi besar, keberanian mengambil risiko, dan kegigihan menaklukkan tantangan hidup melahirkan karya monumental Ciputra Group. Di balik gedung-gedung megah yang kini berdiri, ada tetesan keringat, air mata, bahkan ancaman nyawa yang pernah Ciputra hadapi dengan tenang dan penuh keyakinan.
Baca Juga: Ketika Ciputra Muda Terima Tantangan Atasi Semrawutnya Jakarta