Dalam setiap kesuksesan besar, selalu ada perjuangan panjang yang jarang diketahui orang. Begitu pula dengan Ir. Ciputra, pendiri Ciputra Group, yang perjalanan hidup dan kariernya dimulai dari kondisi yang jauh dari kata nyaman.

Setelah menamatkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Ciputra mulai menapaki satu per satu anak tangga kariernya. Dengan tekad baja, ia perlahan merintis mimpinya hingga menjelma menjadi tokoh penting di balik berbagai proyek raksasa di awal kemerdekaan Indonesia.

Dan, salah satu mega proyek perdana yang menjadi tonggak kariernya adalah Proyek Pasar Senen di Jakarta Pusat. Proyek inilah yang selalu diingat Ciputra sebagai titik balik hidupnya.

Sebagai Direktur Teknis dalam Proyek Senen, Ciputra terjun langsung menjadi pelakon utama. Kala itu, ia bekerja tanpa fasilitas memadai. Kantornya hanyalah sebuah ruangan kecil di Balai Kota, tepat di pinggir jalur lalu lalang orang. Ruang itu panas, bahkan kipas angin pun tak tersedia, membuatnya sering bersimbah keringat. Namun, baginya semua itu bukan masalah besar.

“Keringat itu adalah bukti perjuangan. Ruangan panas tak ada artinya dibanding impian besar yang harus segera diwujudkan,” tutur Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Selasa (1/7/2025).

Tidak lama kemudian, dua rekan seperjuangan Ciputra, yakni Sofyan dan Brasali, tiba di Jakarta. Bersama mereka, Ciputra memutuskan untuk mendirikan nama baru menggantikan CV Daya Tjipta. Mereka menamai perusahaan mereka PT Perencana Jaya dan bertiga bekerja sebagai konsultan proyek, dimulai dengan mendukung pelaksanaan pembangunan Proyek Senen.

Saat itu, kehidupan pribadinya pun sebenarnya belum stabil. Ciputra memboyong istrinya, Dee, dan kedua anak mereka, Rina dan Junita, tinggal di sebuah losmen murah di bilangan Kramat sebagai tempat sementara. Meski serba darurat, keluarganya tetap sabar dan tidak rewel.

“Saya yakin tak lama lagi kami bisa mendapatkan rumah yang layak. Harus bersabar,” kenang Ciputra tentang masa-masa sulit itu.

Seiring berjalannya waktu, PT Perencana Jaya menyewa sebuah rumah kecil di dekat Pasar Senen sebagai kantor resmi mereka. Ciputra segera membuka lowongan kerja untuk merekrut sejumlah arsitek yang dibutuhkan timnya.

“Saat itu, pelamar berdatangan. Saya lega karena berhasil mendapatkan orang-orang yang meyakinkan dan kompeten,” beber Ciputra.

Baca Juga: The Power of Dream! Cerita Ciputra saat Putuskan ‘Hijrah’ Jadi Pengembang di Ibu Kota

Menghadapi Teror dan Amukan Massa

Proyek Senen menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan hidup Ciputra. Namun, di balik keberhasilan besarnya, tersimpan kisah pertarungan mental dan nyawa yang jarang diketahui banyak orang.

Ketika proyek itu dimulai, hal paling mendesak yang harus dilakukan oleh timnya adalah pembebasan tanah. Tahap pertama yang mereka lakukan adalah menyosialisasikan rencana pembangunan kepada para penduduk dan pedagang di kawasan Pasar Senen. Setelah itu, mereka harus segera melakukan pembebasan lahan dengan modal yang ada.

Kala itu, dukungan penuh datang dari Pak Soemarno dan jajaran Pemda DKI Jakarta. Proyek Senen memang direstui negara dan dianggap sangat penting untuk dilakukan. Namun, bagi para pedagang dan penduduk setempat, berita ini menjadi mimpi buruk yang mengancam kehidupan mereka.

Begitu surat pemberitahuan dibagikan oleh tim Ciputra bersama pegawai pemda, kemarahan besar pun meledak.

“Para penduduk mengamuk. Para pedagang protes keras. Karyawan kami diusir dan dimaki-maki. Para anak buah saya menceritakan itu dengan wajah ketakutan. Firasat saya kian tajam, kami akan menghadapi kesulitan amat besar bukan pada teknis pembangunan proyek, melainkan menghadapi kemarahan penduduk dan pedagang. Persoalan ini tidak akan selesai dalam hitungan bulan. Mungkin bertahun-tahun,” papar Ciputra.

Ia sadar bahwa kesulitan terbesar bukanlah pada teknis pembangunan proyek, melainkan menghadapi kemarahan dan penolakan masyarakat yang tanahnya akan digusur. Beberapa penduduk akhirnya bersedia pindah karena memahami pentingnya proyek tersebut, namun jumlah yang menolak jauh lebih banyak, hingga keributan demi keributan pun terjadi setiap hari.

“Hari-hari kami menjadi sarat dengan kisah-kisah tajam keributan di lapangan. Untunglah para staf pemda DKI Jakarta benar-benar memberi dukungan luar biasa,” ujar Ciputra.

Di tengah kekacauan itu, teror nyata pun mendatanginya. Suatu hari, seorang pensiunan tentara mendatangi Ciputra sambil menodongkan pistol ke arahnya. Namun dengan ketenangannya, Ciputra berhasil melewati ancaman tersebut tanpa kekerasan.

“Saat itu, saya berusaha tenang. Tidak terjadi apa-apa. Namun, pada detik itu saya menjadi paham. Nyawa saya terancam dalam pelaksanaan proyek ini,” ujarnya.

Ancaman itu tidak membuatnya mundur, melainkan semakin mempertegas tekadnya untuk menuntaskan proyek besar tersebut. Ciputra segera memohon kepada Pak Soemarno agar pengamanan di lapangan diperkuat. Ia tahu, jika pembebasan lahan terus berlarut-larut, dana yang mereka miliki akan habis sebelum proyek pembangunan terlaksana.

Beruntung, permohonannya dikabulkan. Pemerintah memasang banyak papan pengumuman di kawasan Pasar Senen yang menegaskan bahwa negara-lah yang menghendaki adanya proyek peremajaan tersebut.

“Waktu itu saya memohon kepada Pak Soemarno agar ia bisa memberi dukungan yang lebih besar di dalam pengamanan. Jika proses pembebasan tanah berlarut-larut, dana yang kami miliki bisa menguap sebelum proyek pembangunan dilaksanakan. Pak Soemarno memenuhi permohonan saya,” terang Ciputra.

Baca Juga: Tangan Dingin Ciputra Memoles Wajah Pasar Senen: Ide Cemerlang yang Menembus Batas Istana

Perjuangan Lahir Batin Ciputra dalam Membebaskan Lahan Proyek Senen

Pembebasan tanah untuk Proyek Senen bukanlah tugas mudah bagi Ciputra dan timnya. Setiap hari mereka harus menghadapi emosi warga yang menolak dipindahkan. Bagi Ciputra, ini adalah ujian lahir batin yang menguras energi.

Penduduk dan pedagang yang bersedia pindah segera diantar ke kawasan Kramat Sentiong dan Johar Baru, yang letaknya tidak jauh dari Pasar Senen. Namun, masih banyak yang berontak dan menentang dengan keras.

Tim Ciputra terus membujuk mereka dengan sabar. Ia menggambarkan situasi di lapangan sebagai salah satu fase tersulit dalam hidupnya.

“Jangan ditanya betapa hebatnya terjangan emosi yang terjadi di lapangan. Bukan main! Ini sungguh perjuangan lahir batin,” kenang Ciputra.

Di tengah hiruk pikuk proyek itu, ia tetap harus menyiapkan gambar-gambar kerja detail bersama para arsitek di kantor. Ia berusaha menahan emosinya agar fokusnya tidak buyar oleh tekanan lapangan.

Saat itu, Ciputra membangun rumah sementara untuk keluarganya di Cempaka Putih. Rumah kayu sederhana itu berdiri di atas tanah becek, berdampingan dengan rumah Sofyan dan Brasali. Meski sederhana, rumah itu cukup lapang dan nyaman bagi keluarganya.

“Saya katakan pada Dee, kami tak akan berlama-lama tinggal di sini. Paling lama dua tahun, tapi saya akan mengusahakan kurang dari itu, kami sudah bisa pindah ke rumah yang lebih layak,” papar Ciputra kepada sang istri kala itu.

Rina, anaknya, juga saat itu sudah mulai sekolah. Ciputra bersyukur saat itu ia sudah bisa membeli sebuah mobil Jeep. Namun, saat hujan deras turun, tanah di sekitar rumah berubah menjadi bubur lumpur, menyulitkan mobil untuk bergerak. Rina pun menenteng sepatunya dan berjalan bertelanjang kaki melintasi tanah licin itu dengan tabah.

Sementara itu, di lapangan, meskipun beberapa area di Pasar Senen berhasil dibebaskan, proyek belum bisa berjalan sepenuhnya karena masih banyak warga yang menolak pindah. Ciputra pun khawatir dengan kondisi keuangan perusahaan.

“Saya khawatir dana akan habis perlahan-lahan untuk mengurusi problem di lapangan. Jika diizinkan, saya akan membangun sejumlah rumah tinggal di kawasan Jakarta Barat. Akan saya jual rumah-rumah itu sehingga modal kita bertambah banyak,” usul Ciputra kala itu.

Usul itu disetujui. Maka, PT Pembangunan Jaya pun memulai pembangunan perdananya di Jakarta Barat, tepatnya di kawasan yang kini dikenal sebagai Jalan Jenderal S. Parman di Slipi.

Keputusan ini menjadi langkah awal strategis Ciputra dalam menyeimbangkan pembangunan proyek dengan menjaga stabilitas keuangan perusahaan.

Baca Juga: Bersama dalam Keterbatasan: Kisah Tahun Pertama Pernikahan Ciputra

Strategi Berani Ciputra Menuntaskan Proyek Senen

Ketika menghadapi tantangan pembebasan lahan Proyek Senen yang tak kunjung rampung, Ciputra mengambil keputusan strategis yang menentukan masa depan perusahaan. Ia mengusulkan untuk memutar dana dengan membangun perumahan di kawasan Jakarta Barat.

Ia dan timnya membangun 26 rumah di atas lahan seluas 200 meter persegi per unit. Proses pembangunannya berjalan cepat karena dikerjakan oleh orang-orang pintar dan berpengalaman, serta kontraktor luar yang andal. Hasilnya pun memuaskan.

“Betapa puasnya saya akan hasilnya. Rumah-rumah itu begitu elegan dan simple, ruang-ruangnya efisien dan berdaya fungsi tinggi,” kenang Ciputra dengan bangga.

Rumah-rumah tersebut ludes terjual dalam waktu singkat. Sejumlah bank besarseperti BNI, BRI, Bank Indonesia, BBD, hingga Bapindo, memborongnya untuk dijadikan perumahan bagi para pejabat mereka. Semua bank itu membayar lunas, membuat kas perusahaan berlipat ganda dibandingkan modal awal.

“Saya lega sekali bisa merealisasikan apa yang selama ini saya impikan: membangun rumah berdasarkan idealisme saya dan kemudian mencari pembelinya. Saya yakin tidak sulit menjual rumah yang baik,” ungkap Ciputra.

Dana hasil penjualan rumah itu menjadi amunisi penting untuk melanjutkan pembebasan tanah Proyek Senen, yang semakin hari semakin menegangkan. Keributan di lapangan kerap terjadi. Ciputra dan timnya sering menjadi pihak yang mengalah, karena mereka memahami emosi dan kesedihan penduduk yang tergusur.

Namun, masalah tak berhenti di situ. Preman-preman berdatangan ke area yang sudah dibebaskan, menuntut uang dengan ancaman. Proyek ini menjadi ujian mental, keberanian, dan strategi hidup.

Lahan demi lahan mulai berhasil dibebaskan. Selain memindahkan penduduk dan pedagang Pasar Senen, tim juga memindahkan titik-titik pelacuran, terutama di Gang Wangseng. Sementara itu, para pelaku industri rumahan relatif lebih mudah direlokasi ke lahan seluas 19 hektare di Cempaka Putih.

Namun, salah satu proses paling dramatis adalah saat mereka harus memindahkan puluhan ribu makam Tionghoa dari Kramat Sentiong ke Jelambar. Pada hari pemindahan, suasana begitu heboh. Keluarga para jenazah menyerbu pemakaman untuk memastikan tulang-belulang kerabat mereka dipindahkan dengan aman.

Di tengah hiruk-pikuk itu, buldoser mulai meratakan tanah makam. Tapi, ribuan orang mendadak datang menghambat pekerjaan. Mereka menyerbu setiap lubang kubur dan mengais tanah dengan tangan kosong. Rupanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak jenazah Tionghoa dikuburkan bersama perhiasan mereka. Harapan menemukan harta karun pun membuat suasana menjadi kacau.

Tangisan keluarga yang belum selesai memindahkan jenazah bercampur dengan teriakan dan hiruk-pikuk orang-orang yang mencari perhiasan. Situasi pun berubah menjadi pemandangan yang menggetarkan hati.

“Mereka beraksi di tengah pekik teriakan keluarga jenazah yang belum beres mengambil jenazah. Heboh,” tandas Ciputra.

Nah Growthmates, proyek Senen menjadi saksi bagaimana visi besar, keberanian mengambil risiko, dan kegigihan menaklukkan tantangan hidup melahirkan karya monumental Ciputra Group. Di balik gedung-gedung megah yang kini berdiri, ada tetesan keringat, air mata, bahkan ancaman nyawa yang pernah Ciputra hadapi dengan tenang dan penuh keyakinan.

Baca Juga: Ketika Ciputra Muda Terima Tantangan Atasi Semrawutnya Jakarta