Tekad kuat untuk keluar dari kehidupan berat menjadi awal perjalanan Ciputra menjemput masa depan. Di usia 15 tahun, setelah bertahun-tahun hidup di kebun dan berburu di hutan, Ciputra memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Ia menyebut masa itu sebagai titik balik yang menentukan arah hidupnya.

"Saya menjalani kehidupan seperti itu hingga usia 15 tahun. Sekolah, berkebun, dan berburu. Tapi hidup tak bisa begitu terus-menerus. Saya tidak boleh lagi berhenti di kehidupan yang sulit seperti itu," ujar Ciputra dalam bukunya The Entrepreneur.

Baca Juga: Suka Duka Ciputra Menjadi Petani Hingga Belajar Kepemimpinan dari Pengalaman Berburu

Keputusan untuk sekolah disampaikan langsung kepada sang ibu. Meski hidup dalam keterbatasan, sang ibu justru mendorongnya untuk pergi.

"Tentu saja kau berhak sekolah, Nyong. Jangan kau pikir ibumu ini akan menahanmu di kebun. Tidak. Ibumu akan merasa sedih jika melihat kau menghabiskan masa mudamu di hutan dan kebun," jawab ibunya saat itu.

Dengan restu ibunya, Ciputra pun bersiap menuju Gorontalo. Sang ibu memutuskan pindah ke Parigi untuk berjualan kue, dan kebun keluarga diserahkan pada orang kepercayaan.

Baca Juga: Ayah Ditawan dan Meninggal di Penjara, Ini Kisah Ciputra yang Piatu Sejak Kecil

Meski sudah menyelesaikan SD dalam usia yang tak lagi muda, Ciputra tidak merasa malu. Ia bertekad keras untuk menuntaskan pendidikan dan membebaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Perjalanan ke Gorontalo tidak berjalan mulus. Awalnya, Ciputra menumpang bendi, namun baru sepertiga jalan, as bendi patah. Ia terpaksa kembali dan menunggu kapal yang akan berlayar ke Gorontalo.

Baca Juga: Kisah Pilu Ciputra Saat Penjajahan Jepang: Papa Ditawan!

Di kapal, Ciputra baru sadar bahwa ia tidak memiliki sepatu. Ia akhirnya membeli sepasang sepatu yang dijual di kapal, meski ukurannya jauh lebih besar dari kakinya.

"Paling kecil nomor 44. Sungguh kebesaran bagi saya. Tapi saya harus punya sepatu. Sampai di Gorontalo semua orang tertawa karena sepatu saya yang sangat besar," kisahnya.

Kendati ditertawakan, Ciputra tetap melangkah dengan sepatu kebesaran itu, menahan agar tidak terlepas dari kakinya. Tahun itu adalah 1945, Jepang baru saja angkat kaki dari Indonesia dan digantikan oleh tentara Sekutu.

Baca Juga: Tentang Kedekatan Ciputra Bersama Orang Tua dan Kenangan Manis di Desa Bumbulan

Setiba di Gorontalo, Ciputra nyaris tidak bisa masuk SMP karena terlambat mendaftar. Beruntung, putri dari tante yang menampungnya mengenal kepala sekolah dan membantunya diterima.

Di tengah segala keterbatasan, semangat Ciputra untuk belajar tak surut. Ia menyebut masa kecilnya yang berat sebagai tempaan hidup yang sangat membentuk karakternya.

"Rangkaian kehidupan saya di masa kecil telah menyuntikkan sesuatu yang luar biasa dalam diri saya. Motivasi untuk maju. Mimpi untuk bisa bangkit," ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Ciputra dengan Luka Masa Lalu yang Bentuk Mental Pantang Menyerah dan Pemberani

Ia mengaku bahwa pengalaman hidup di masa kecil dan remaja, meskipun sulit, justru menjadi pondasi penting dalam perjalanan hidupnya.

"Jika Tuhan menakdirkan hidup ini diulang lagi, maka saya tidak ingin mengubah jalan hidup saya. Itu adalah skenario terindah dari Tuhan untuk membentuk seorang Ciputra," katanya.

Meski begitu, ia tak menampik bahwa jika harus mengulang masa-masa itu, ia merasa akan sangat berat.

Baca Juga: Sosok Ciputra dalam Pandangan Dato Sri Tahir

"Sampai hari ini pun saya sering tidak percaya bagaimana mungkin saya pernah dan bisa melintasi masa-masa berat itu. That's miracle. Tangan Tuhan bersama saya," tutup Ciputra.