Pengusaha kawakan Tanah Air Ciputra sempat mengalami masa-masa sulit di masa lampau sebelum akhirnya mencatatkan namanya sebagai seorang pengusaha sukses Tanah Air.
Di masa mudanya, Ciputra sempat menjadi petani dan pemburu, itu menjadi salah satu bab terberat dari perjalanan hidup Ciputra. Sebuah transformasi yang membawanya pada titik terendah dalam hidupnya.
Seumur hidup, Ciputra baru pertama kali melakoni profesi ini, sebelumnya ia hidup berkecukupan, usaha toko kelontong yang dibesut sang ayah maju pesat, kebutuhan keluarga tercukupi bahkan cenderung melimpah.
Baca Juga: Ayah Ditawan dan Meninggal di Penjara, Ini Kisah Ciputra yang Piatu Sejak Kecil
“Betapa cepatnya hidup sulit dipercaya, dari seorang anak pedagang yang cukup makan, cukup sandang, hidup dalam keadaan yang cukup nyaman, kemudian saya harus berhadapan dengan sebidang tanah yang harus kami olah sebagai sumber penghidupan,” kata Ciputra dilansir Olenka.id (6/6/2025).
Menjadi petani, Ciputra dibantu oleh sang ibu dan seorang pekerja, keuangan keluarga tidak cukup untuk menggaji lebih banyak pekerja. Keadaan ini membuat kondisi fisik ibu berubah dengan begitu cepatnya, badannya semakin kurus setiap harinya, begitu juga dengan Ciputra, pemuda belia yang masih polos itu juga mengalami banyak perubahan fisik, kulitnya mulai terbakar disengat matahari.
“Saya, sepulang sekolah, menghabiskan waktu di kebun. Mengerjakan apa saja. Membersihkan tanah, menyiram, memperbaiki posisi tanaman yang rusak. Kami bekerja sampai petang,” ujarnya.
Menjadi petani, Ciputra bekerja sangat total, kendati berat ia lakoni profesi ini dengan penuh kesungguhan hati.
“Saya membuat sebuah rumah kayu kecil berbentuk rumah panggung di kebun itu. Fungsinya untuk tempat saya beristirahat selama menjaga kebun. Saya ajak anjing-anjing saya ke sana,” tuturnya.
Menjadi petani, Ciputra dipaksa keadaan untuk menjajal pekerjaan lain. Tanaman yang sering dirusak hewan liar seperti babi hutan bikin Ciputra menjadi seorang pemburu, ia dibantu dua ekor anjingnya yang penurut juga pintar.
“Babi hutan kerap datang dan merusak kebun tanaman. Gonggongan anjing akan dengan cepat mengusir mereka pergi. Perjuangan di kebun membutuhkan kesabaran luar biasa,” tuturnya.
Melatih Kesabaran
Kendati berat, namun Diakui Ciputra bahwa melakoni profesi petani dan pemburu sangat melatih kesabarannya. Selain berkutat menjaga tanaman dari binatang liar, ia juga dituntut telaten merawat tanaman-tanaman itu supaya bisa tumbuh dan menghasilkan. Sebab itu adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga
“Tidak akan ada uang yang serta-merta datang. Kami harus tekun merawat tumbuhan yang ada, memastikan itu tumbuh dengan baik, agar panennya juga berhasil dengan baik. Dan itu makan waktu. Beda dengan berdagang yang bisa melihat keuntungan begitu barang terjual,” ujarnya.
“Di situlah saya menghayati kesabaran para petani. Belum lagi harus tawakal menghadapi alam. Kemarau sering kali mengeringkan tanah dan tanaman dengan kejamnya.Dan hujan yang terlampau deras juga bisa merusak tanaman,” ujarnya.
Selain melatih kesabaran, menjadi petani membuat Ciputra belajar banyak hal, termasuk belajar menanam dan merawat tanaman yang kesemuanya ia pelajari secara otodidak. Bagi Ciputra kebun adalah sekolah, tempat mempelajari berbagai hal.
“Dengan cepat saya belajar. Saya mengetahui bagaimana agar setiap tanaman di kebun itu bisa menghasilkan panen yang baik. Semua saya pelajari secara otodidak. Tidak banyak yang bisa kami hasilkan dari kebun. Paling penting, kebutuhan pangan kami tercukupi,”katanya lagi.
“Kami bisa menyantap beras dan ubi dari kebun sendiri. Sementara hasil penjualan sangatlah kecil. Kepada siapa kami akan menjual? Sedangkan hampir semua penduduk juga menanam sendiri karena mereka kesulitan uang,” tambahnya.
Berburu Bersama 17 Ekor Anjing
Keberadaan babi hutan sangat mengganggu para petani, hal ini yang membuat Ciputra memutuskan menjadi seorang pemburu bersama beberapa warga lainnya. Menjadi pemburu babi hutan memberi Ciputra pengalaman mengesankan yang tak terlupakan, bahkan pengalaman-pengalaman mengerikan yang dihadapi masih terekam dengan jelas di kepalanya.
Baca Juga: Tentang Kedekatan Ciputra Bersama Orang Tua dan Kenangan Manis di Desa Bumbulan
“Kami berburu berkelompok sekitar tujuh atau delapan orang. Saya, Om Gugu, tiga pria asal Sangir Talaud, dan beberapa anak muda setempat.
“Pengalaman tak terlupakan. Pada awalnya sangat mengerikan. Hutan di Bumbulan cukup ganas. Banyak ular berseliweran. Perdu dengan duri tajam di sana-sini. Kaki kami terluka dan berlumuran darah saat keluar hutan,” ucapnya.