Desa Bumbulan di Sulawesi semula begitu damai, bahkan saat berada di bawah penjajahan Belanda. Namun, kedamaian itu hancur saat tentara Jepang datang. Mereka mengambil alih rumah-rumah warga, mendirikan pos militer, dan menghadirkan ketegangan yang mencekam. Bagi Ciputra kecil, usia 13 tahun saat itu, kedatangan Jepang menjadi awal dari penderitaan yang kelak membentuk karakter hidupnya.
Desas-desus soal kekejaman tentara Jepang segera terbukti. Ciputra menyaksikan sendiri seorang pencuri pakaian dipukuli habis-habisan oleh Kempeitai di tepi sungai.
“Tubuhnya berlumuran darah dipukul benda tumpul. Tak kuat saya melihatnya… Sungai pun berwarna merah,” tulisnya mengisahkan perjalanan kelam dalam hidupnya yang ia tuangkan dalam buku berjudul The Entrepreneur, yang dikutip Olenka pada Rabu (04/06/2025).
Baca Juga: Tentang Kedekatan Ciputra Bersama Orang Tua dan Kenangan Manis di Desa Bumbulan
Ketegangan meningkat saat polisi penjajah mulai menyita harta milik warga. Ayah Ciputra menyembunyikan perhiasan emas dalam guci tembikar yang ditanam di bawah lantai rumah, tepat di bawah sebuah bufet kecil. Tapi perlindungan itu tak sepenuhnya berhasil. Polisi tetap menyita tumpukan kain batik dagangan sang ibu. Lebih parah lagi, ayah Ciputra ditangkap dan dibawa ke tangsi polisi, lalu dipindahkan ke kapal yang menuju Manado.
“Tiga hari kemudian Papa digelandang begitu saja ke perahu diiringi jerit histeris Mama. Wajah Papa begitu keruh. Ia dengan trenyuh memandang Mama,” kenang Ciputra. Di dermaga, sang ibu berteriak memohon agar suaminya dilepaskan, namun tentara Jepang malah menghardik dan hampir memukulnya.
“Saya ketakutan dan refleks merangkul tubuh Mama,” tulis Ciputra, “pada detik itu saya telah pasrah… Bersiaplah untuk kehilangan yang menyakitkan.”
Perpisahan di dermaga itu menjadi momen terakhir Ciputra melihat ayahnya. Ia masih ingat jelas tatapan pilu sang ayah yang seolah berkata bahwa segalanya telah berakhir. Setelah kapal menghilang di tengah laut, hanya tersisa suara ombak dan isak tangis.
Baca Juga: Tentang Wasiat Terakhir Sang Kakek dan Masa Kecil Ciputra di Bumbulan
“Saya terpaku. Mengingat sorot tatapan terakhir Papa pada kami. Itulah tatapannya yang terakhir,” ceritanya.
Hari-hari berikutnya diisi oleh mimpi buruk dan kecemasan yang tak henti. Ia mengaku sungguh disiksa tekanan batin yang hebat membayangkan seperti apa Ayahnya diperlakukan.
"Apakah ia disiksa? Apakah ia… tewas? Bahkan, saya mulai berpikir bahwa mungkin lebih baik jika sang ayah sudah tiada, daripada terus disiksa tanpa harapan,” pikir Ciputra.
Kehilangan itu membuat keluarganya terpuruk. Sang ibu tak sanggup lagi mengelola toko, baik karena keterbatasan kemampuan maupun karena kondisi ekonomi yang kian sulit.
Baca Juga: Kisah Ciputra dengan Luka Masa Lalu yang Bentuk Mental Pantang Menyerah dan Pemberani
“Nyong, mungkin inilah bukti dari pesan ayahmu. Kebun dan dua ekor sapi itu menjadi peninggalannya agar kita bisa tetap hidup,” ucap ibunya suatu malam.
Dari sanalah hidup baru dimulai. Kebun seluas setengah hektare menjadi tumpuan harapan. Sebagai satu-satunya laki-laki di rumah, Ciputra harus menguatkan diri. Ia mengatakan bahwa kedua kaki dan tangannya cukup kokoh untuk bekerja kasar.
"Tetapi, saya ragu apakah saya bisa menggantikan posisi Papa,” akunya.
Namun, justru dari titik terendah inilah, semangat dan daya tahan seorang Ciputra mulai tumbuh. Ia belajar bertahan, mengatasi trauma, dan memikul tanggung jawab besar sejak belia. Perjalanan hidup yang penuh luka itu pada akhirnya mengantarkannya menjadi salah satu tokoh pengusaha paling berpengaruh di Indonesia.