“Seisi rumah kemudian berkumpul dan terkejut. Pembantu menceritakan apa yang terjadi. Bahwa saya mengata-ngatainya dengan kasar dan ia kemudian menampar saya berkali-kali.

"Kau bersalah! Kau tak boleh bersikap tak sopan pada orang yang lebih tua!" Tante Sioe membentak saya. Saya terkesima. Betapa kecewanya saya. Mereka lebih memilih membela pelayan ketimbang saya. Dalam hati saya mengutuk karena kesal,” tambahnya.

Pasrah. Ciputra juga bertanya-tanya, apa yang sebetulnya yang dipesankan sang ayah saat menitipkan dirinya? Apakah memang berpesan agar diperlakukan keras, dibentuk menjadi anak laki-laki yang kuat? Atau, bagaimana? Yang pasti, setiap kali kedua orangtuanya datang, hal pertama yag dilakukan bocah laki-laki itu hanya menangis dan memeluk sang ayah dan ibunda.

“Saya katakan bahwa saya tak suka tinggal di rumah itu. Di luar dugaan, Papa hanya diam saja. Sementara Mama mengelus-elus kepala saya,” tutur Ciputra.

Baca Juga: Kehidupan Ciputra Kecil yang Keras di Gorontalo: Bak Dipenjara

Mau tak mau, Ciputra pun mencoba bertahan di rumah itu hingga membuatnya lambat laun menjadi kebal dengan segala bentakan dan amarah yang diterima. Sikap keras di sana telah meresap ke dalam dirinya sebagai nafas kehidupan. 

Walau batinnya sangat terluka, Ciputra mencoba tabah, meski mungkin masih terlalu dini untuk anak seusianya saat itu. Pak Ci mencoba menelan keadaan pahit itu, tanpa menangis lagi. Satu hal yang bisa disimpulkan di usianya yang masih kanak-kanak itu, betapa menderitanya hidup jika tak memiliki martabat, kuasa, atau kekuatan. Betapa sengsaranya orang yang tak berdaya.

Di tengah kehidupan yang kelam seperti itu, hanya bermain sepak bola membuatnya sedikit lebih terhibur. Namun, sebuah bola untuk dimainkan pun tak pernah diberikan oleh sang tante. Berbeda dengan rumahnya di Parigi, bola begitu melimpah. Pernah suatu ketika Ciputra mendapatkan hadiah bola dari pertandingan di sekolah, salah satu sepupunya justru merebutnya.