Ir. Ciputra dikenal luas sebagai maestro properti Indonesia dan tokoh visioner di balik berbagai proyek prestisius di negeri ini. Di balik gemerlap keberhasilannya, tersimpan kisah masa kecil yang penuh luka dan penderitaan. 

Namun, pengalaman pahit itulah justru yang membentuk Pak Ci sapaannya itu menjadi pribadi yang tangguh, bermental baja, tak mudah menyerah, dan berani menghadapi tantangan hidup. Dalam buku The Entrepreneurs, Pak Ci berbagi luka masa lalu yang mungkin tak diketahui banyak orang selama ini.

Di usianya yang begitu belia, ketika banyak anak bisa merasakan banyak kebahagiaan dalam hidupnya, Ciputra justru harus menghadapi hari demi hari yang selalu diwarnai kecemasan dan kebencian. Ada rasa ingin berontak, tetapi terkubur dengan ketidakberdayaannya. Hal tersebut dirasakan Pak Ci saat sempat dititipkan orang tuanya untuk tinggal bersama sang tante. 

“Setiap bangun pagi, saya selalu cemas memikirkan kesalahan apa lagi yang akan saya buat dan bentakan apa lagi yang akan saya terima. Saya menjadi penyendiri. Jika keadaan aman, para tante sedang pergi atau tidur, saya akan berjalan ke pekarangan, berlama-lama di sana, dan berbicara dengan diri sendiri. Saya sangat kesepian. Amat sangat kesepian. Satu-satunya keramaian dalam hidup saya adalah bila mereka sibuk memarahi saya. Selebihnya, hanya sunyi,” ujar Ciputra seperti dikutip Olenka, Sabtu (31/5/2025).

Tekanan itu membuatnya sedikit depresi. Bahkan, Ciputra juga pernah mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari salah seorang pelayan laki-laki. Pernah suatu waktu Pak Ci melakukan kesalahan kecil, ia justru dimarahi dan dibentak. Tak terima, Pak Ci pun membalas dengan membentak.

Namun, apa yang ia dapatkan? Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Emosi kanak-kanaknya terbakar membuat Pak Ci kembali berteriak dan membentak. Berkali-kali ditempeleng, berkali-kali dibalas Pak Ci dengan bentakan. Kala itu, ia seperti dibakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Teriakannya membentak pembantu itu bercampur dengan tangisan dan entakan suara tamparan. 

“Saya baru berhenti ketika kepala saya menjadi sangat pusing. Darah menetes. Wajah saya bukan main sakitnya. Mulut saya mengeluarkan darah,” cerita Ciputra.

Baca Juga: Mengulik Potret Kecil Ir. Ciputra: dari Luka dan Trauma Menjadi Legenda Properti Indonesia

Mendapat perlakuan tak menyenangkan dari pelayan rumah, tak membuat Ciputra dibela oleh keluarganya. Ia justru dianggap salah, disebut tak bersikap sopan kepada orang yang lebih tua.

“Seisi rumah kemudian berkumpul dan terkejut. Pembantu menceritakan apa yang terjadi. Bahwa saya mengata-ngatainya dengan kasar dan ia kemudian menampar saya berkali-kali.

"Kau bersalah! Kau tak boleh bersikap tak sopan pada orang yang lebih tua!" Tante Sioe membentak saya. Saya terkesima. Betapa kecewanya saya. Mereka lebih memilih membela pelayan ketimbang saya. Dalam hati saya mengutuk karena kesal,” tambahnya.

Pasrah. Ciputra juga bertanya-tanya, apa yang sebetulnya yang dipesankan sang ayah saat menitipkan dirinya? Apakah memang berpesan agar diperlakukan keras, dibentuk menjadi anak laki-laki yang kuat? Atau, bagaimana? Yang pasti, setiap kali kedua orangtuanya datang, hal pertama yag dilakukan bocah laki-laki itu hanya menangis dan memeluk sang ayah dan ibunda.

“Saya katakan bahwa saya tak suka tinggal di rumah itu. Di luar dugaan, Papa hanya diam saja. Sementara Mama mengelus-elus kepala saya,” tutur Ciputra.

Baca Juga: Kehidupan Ciputra Kecil yang Keras di Gorontalo: Bak Dipenjara

Mau tak mau, Ciputra pun mencoba bertahan di rumah itu hingga membuatnya lambat laun menjadi kebal dengan segala bentakan dan amarah yang diterima. Sikap keras di sana telah meresap ke dalam dirinya sebagai nafas kehidupan. 

Walau batinnya sangat terluka, Ciputra mencoba tabah, meski mungkin masih terlalu dini untuk anak seusianya saat itu. Pak Ci mencoba menelan keadaan pahit itu, tanpa menangis lagi. Satu hal yang bisa disimpulkan di usianya yang masih kanak-kanak itu, betapa menderitanya hidup jika tak memiliki martabat, kuasa, atau kekuatan. Betapa sengsaranya orang yang tak berdaya.

Di tengah kehidupan yang kelam seperti itu, hanya bermain sepak bola membuatnya sedikit lebih terhibur. Namun, sebuah bola untuk dimainkan pun tak pernah diberikan oleh sang tante. Berbeda dengan rumahnya di Parigi, bola begitu melimpah. Pernah suatu ketika Ciputra mendapatkan hadiah bola dari pertandingan di sekolah, salah satu sepupunya justru merebutnya.

Soal jajan, Ciputra kecil baru bisa merasakannya justru karena disuruh oleh kakak-kakak kelasnya di sekolah. Mereka kerap memanggilnya, “Hei, Nyong, tolong belikan kacang goreng!” Begitulah caranya bisa ikut menikmati jajanan, meski harus menjadi suruhan.

“Dengan cepat saya menerima uang dan berlari menuju warung. Saya akan mendapatkan upah berupa beberapa kacang goreng. Lumayan. Saya bisa makan jajanan. Bayangkan kalau ada beberapa teman yang minta saya berlari ke warung membeli kacang, maka saya bisa mengunyah banyak kacang goreng,” cerita Ciputra.

Keinginan untuk jajan atau sekadar mencicipi makanan enak kerap menghantui Ciputra kecil. Suatu hari, seorang guru perempuan berkebangsaan Belanda sedang makan roti di depan kelas. Ia tak menghabiskan rotinya, lalu mengacungkan sisa roti itu dan bertanya, “Siapa yang mau sisa roti ini?”

Tanpa ragu, Ciputra pun mengangkat tangan. Rasa lapar dan keinginan menikmati sesuatu yang lezat membuatnya tak peduli. Ia menyantap sisa roti itu dengan lahap. Baginya, rasanya seperti surga.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Dua hari kemudian, Tante Sioe dan Ci Tiem memarahi Ciputra habis-habisan. Rupanya, kabar bahwa ia memakan sisa roti sang guru telah sampai ke telinga mereka.

Baca Juga: Awan Mendung dan Ujian Mahaberat Pernikahan Orang Tua Ciputra

"Memalukan! Kamu seperti pengemis saja makan sisa roti orang!" Tante Sioe menjewer telinga saya keras sekali,” kata Pak Ci.

Ciputra mengaku kesal, tetapi di lain sisi ia juga malu dan menyesal. Jika kedua orang tuanya tahu, ia pasti akan dimarahi karena telah mempermalukan keluarganya.

“Rasanya tak enak ketika menyadari ini. Betapa jahanamnya kehidupan saya di masa itu. Bahkan untuk makan pun saya begitu tertekan,” tuturnya.

Lantaran kondisi mentalnya yang cukup tertekan, hal tersebut membuat Ciputra kesulitan menerima pelajaran dengan baik. Ciputra hanya unggul dalam pelajaran berhitung, tetapi tidak dengan bahasa Belanda. 

Padahal, sang ayah menitipkannya ke Gorontalo salah satunya dengan alasan agar Ciputra mahir berbahasa Belanda. Namun, Ciputra terlalu malas menghafal bahasa asing yang tidak digunakannya dalam keseharian di rumah. 

“Nilai pelajaran bahasa Belanda saya sangat buruk. Akhirnya saya tak naik kelas dari kelas 2 ke kelas 3 SD. Menyedihkan,” kata Ciputra.

Kenyataan tersebut membuat Ciputra semakin dihina oleh kerabatnya. Bahkan, disebut sebagai anak yang bodoh dan tak memiliki masa depan. Yang membuat Ciputra semakin sedih, ketika sang ayah juga berkomentar serupa, menyakitkan. 

"Ya, Tjien Hoan itu seperti kain pel. Tidak seperti Goat Beng yang seperti serbet bagus,” kata Pak Ci mengikuti perkataan sang ayah.

Hanya sang ibu yang menghibur Ciputra dan mengatakan pada seluruh kerabat. "Tidak. Tjien Hoan bukan anak bodoh. Dia pandai. Hanya karena nilai bahasanya buruk bukan berarti dia anak bodoh," ujar Mama lantang.

Walau sedih, kejadian tak naik kelas juga menjadi hal yang menggembirakan bagi Ciputra. Sebab, setelah itu, sang ayah memutuskan kembali membawa Ciputra berkumpul dengan keluarga. Dengan ringan hati, bocah delapan tahun itu lekas berkemas dan pergi meninggalkan rumah sang tante.

Ciputra dan keluarganya tak kembali ke Parigi. Ternyata, sang ayah telah lebih dulu pindah ke Bumbulan, sebuah desa kecil yang letaknya sekitar 140 kilometer dari Gorontalo, dan bahkan lebih terpencil dibanding Parigi.

Perpindahan itu tak lepas dari bencana besar yang terjadi pada tahun 1938. Gempa bumi dahsyat mengguncang Sulawesi Tengah dan memicu tsunami besar di Teluk Tomini. Parigi menjadi salah satu daerah yang luluh lantak diterjang bencana. Beruntung, kedua orang tua Ciputra selamat dari kejadian mengerikan itu. Namun, trauma yang membekas membuat mereka memutuskan untuk tidak kembali membangun kehidupan di sana.

Kebetulan, sang kakek memiliki sebuah toko kelontong di Bumbulan yang selama ini dikelola oleh seorang pegawai. Sejak saat itu, toko tersebut diserahkan sepenuhnya kepada ayah Ciputra untuk dikelola.

Baca Juga: Pohon Keluarga Ciputra di Bisnis Jaya Group

“Maka, dengan riang, ikutlah saya bersama Papa menuju kediaman baru di Bumbulan. 

Ketika kendaraan membawa saya, Ako, dan Papa kembali ke Bumbulan , pikiran saya habis-habisan melupakan rumah besar Engkong. Rumah traumatis. Saya bahkan tak ingin kembali ke sana. Hanya dua tahun di sana. Tapi cukup menjejakkan sejarah menyakitkan di batin saya. Sebuah masa yang membentuk karakter saya dan membangun mental tahan banting. Tak banyak yang saya ceritakan pada Papa. Keputusannya membawa saya kembali ke rumah keluarga sudah cukup mengobati sakit hati saya yang bertumpuk-tumpuk di rumah itu,” kata Ciputra.

“Sampai di Bumbulan, kaki saya  berlari kencang di atas hamparan pasir putih di belakang rumah kami. Saya kembali menemukan kemerdekaan. Dua tahun yang bagaikan mimpi buruk itu telah berlalu,” sambungnya.

Namun, siapa yang bisa mencegah, luka dari masa itu menetap di batin Ciputra. Baru puluhan tahun kemudian ia menyadari, itulah masa penggemblengan dirinya. Itulah masa yang membentuk mental seorang Ciputra. Pantang menyerah, tak mau begitu saja kalah, dan berani. 

“Saya tidak memikirkan diri saya menjadi objek kesemena-menaan orang lain. Seharusnya saya berterima kasih kepada Tante Sioe dan Ci Tiem,” tukasnya.