Kenyataan tersebut membuat Ciputra semakin dihina oleh kerabatnya. Bahkan, disebut sebagai anak yang bodoh dan tak memiliki masa depan. Yang membuat Ciputra semakin sedih, ketika sang ayah juga berkomentar serupa, menyakitkan. 

"Ya, Tjien Hoan itu seperti kain pel. Tidak seperti Goat Beng yang seperti serbet bagus,” kata Pak Ci mengikuti perkataan sang ayah.

Hanya sang ibu yang menghibur Ciputra dan mengatakan pada seluruh kerabat. "Tidak. Tjien Hoan bukan anak bodoh. Dia pandai. Hanya karena nilai bahasanya buruk bukan berarti dia anak bodoh," ujar Mama lantang.

Walau sedih, kejadian tak naik kelas juga menjadi hal yang menggembirakan bagi Ciputra. Sebab, setelah itu, sang ayah memutuskan kembali membawa Ciputra berkumpul dengan keluarga. Dengan ringan hati, bocah delapan tahun itu lekas berkemas dan pergi meninggalkan rumah sang tante.

Ciputra dan keluarganya tak kembali ke Parigi. Ternyata, sang ayah telah lebih dulu pindah ke Bumbulan, sebuah desa kecil yang letaknya sekitar 140 kilometer dari Gorontalo, dan bahkan lebih terpencil dibanding Parigi.

Perpindahan itu tak lepas dari bencana besar yang terjadi pada tahun 1938. Gempa bumi dahsyat mengguncang Sulawesi Tengah dan memicu tsunami besar di Teluk Tomini. Parigi menjadi salah satu daerah yang luluh lantak diterjang bencana. Beruntung, kedua orang tua Ciputra selamat dari kejadian mengerikan itu. Namun, trauma yang membekas membuat mereka memutuskan untuk tidak kembali membangun kehidupan di sana.

Kebetulan, sang kakek memiliki sebuah toko kelontong di Bumbulan yang selama ini dikelola oleh seorang pegawai. Sejak saat itu, toko tersebut diserahkan sepenuhnya kepada ayah Ciputra untuk dikelola.

Baca Juga: Pohon Keluarga Ciputra di Bisnis Jaya Group

“Maka, dengan riang, ikutlah saya bersama Papa menuju kediaman baru di Bumbulan. 

Ketika kendaraan membawa saya, Ako, dan Papa kembali ke Bumbulan , pikiran saya habis-habisan melupakan rumah besar Engkong. Rumah traumatis. Saya bahkan tak ingin kembali ke sana. Hanya dua tahun di sana. Tapi cukup menjejakkan sejarah menyakitkan di batin saya. Sebuah masa yang membentuk karakter saya dan membangun mental tahan banting. Tak banyak yang saya ceritakan pada Papa. Keputusannya membawa saya kembali ke rumah keluarga sudah cukup mengobati sakit hati saya yang bertumpuk-tumpuk di rumah itu,” kata Ciputra.

“Sampai di Bumbulan, kaki saya  berlari kencang di atas hamparan pasir putih di belakang rumah kami. Saya kembali menemukan kemerdekaan. Dua tahun yang bagaikan mimpi buruk itu telah berlalu,” sambungnya.

Namun, siapa yang bisa mencegah, luka dari masa itu menetap di batin Ciputra. Baru puluhan tahun kemudian ia menyadari, itulah masa penggemblengan dirinya. Itulah masa yang membentuk mental seorang Ciputra. Pantang menyerah, tak mau begitu saja kalah, dan berani. 

“Saya tidak memikirkan diri saya menjadi objek kesemena-menaan orang lain. Seharusnya saya berterima kasih kepada Tante Sioe dan Ci Tiem,” tukasnya.