Padahal, secara teknis, kakao sebenarnya cukup mudah untuk diolah lebih lanjut. Cukup dengan mengupas buahnya, kemudian diambil daging buahnya, kemudian difermentasi selama 5-7 hari. Selanjutnya pengeringan, dan biji kakao kering siap diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk olahan seperti coklat batang, coklat bubuk, permen, maupun produk-produk olahan dari kakao lainnya.
Jika ada dukungan dalam bentuk infrastruktur, pelatihan, atau kebijakan yang tepat, petani kecil bisa lebih berdaya dan Indonesia bisa meningkatkan hilirisasi kakao untuk menghasilkan produk dengan nilai ekonomi lebih tinggi.
Hal lain yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi komoditas kakao adalah peningkatan produktivitas. Saat ini produktivitas petani kakao Indonesia masih kalah jauh dibanding Ghana yang merupakan negara produsen kakao terbesar di dunia.
“Saat ini produktivitas kakao di Indonesia hanya sekitar 0,5 ton per hektar per tahun. Sementara negara saingan kita, penghasil kakao nomor 1 dunia yaitu Ghana, mereka produktivitasnya sudah di atas 1 ton per hektar per tahun,” tutur Evi.
Baca Juga: Laporan PBB Ungkap Pentingnya Digitalisasi Keuangan bagi Sektor Kakao Indonesia
“Kita punya beberapa varietas unggulan yang sudah dilepas diantaranya BL50 yang juga merupakan hasil varietas yang sudah dilepas oleh BSI Petri, itu potensinya adalah 4 ton per hektar per tahun. Jadi dengan produktivitas hanya 0,5 atau seperdelapannya masih sangat jauh untuk bisa kita tingkatkan lebih baik lagi,” tambahnya.
Karena itu, Evi berharap adanya kolaborasi antara pemerintah, petani, dan berbagai pihak untuk mengembangkan industri kakao di Indonesia.
“Sehingga dari sisi produktivitas bisa meningkat, kemudian juga bentuk-bentuk pengolahan yang ada itu bisa dilakukan di dalam negeri. Jangan sampai kita hanya mengekspor biji keringnya, kemudian kita membeli coklatnya dari luar negeri,” imbuhnya.