Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, salah satunya adalah kakao. Sebagai salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia, potensi komoditas ini sangat besar untuk menjadi sumber ekonomi baru bagi Tanah Air. Namun, agar manfaatnya semakin optimal, diperlukan upaya serius dalam pengembangannya.

Melihat besarnya potensi kakao, Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Industri dan Penyegar (BSIP TRI) Kementerian Pertanian, Evi Savitri Iriani, menekankan pentingnya hilirisasi dan meningkatkan produktivitas untuk mengoptimalkan komoditas ini.

Evi menilai, Indonesia masih lebih banyak mengekspor kakao dalam bentuk mentah atau biji kering. Padahal, jika diolah lebih lanjut di dalam negeri, nilai tambah yang dihasilkan bisa jauh lebih besar. Dengan hilirisasi, Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga bisa menikmati manfaat ekonomi yang lebih tinggi dari industri kakao yang berkembang di dalam negeri.

“Dan tentunya ini juga akan memberi dampak yang besar kepada para petani kakao yang ada di Indonesia,” ujar Evi Savitri Iriani kepada Olenka seperti dikutip, Minggu (30/3/2025).

Baca Juga: Emban Tugas Baru, BPDPKS Kini Kelola Kelapa dan Kakao

Salah satu alasan hilirisasi kakao di Indonesia masih terbatas, lanjut Evi, adalah karena mayoritas budidaya kakao dilakukan oleh petani kecil. Mereka tidak memiliki kapasitas atau fasilitas untuk mengolah hasil panennya sendiri menjadi produk bernilai tambah. Akibatnya, seluruh hasil panen mereka dijual kepada pengepul dan langsung diekspor dalam bentuk mentah. 

Padahal, secara teknis, kakao sebenarnya cukup mudah untuk diolah lebih lanjut. Cukup dengan mengupas buahnya, kemudian diambil daging buahnya, kemudian difermentasi selama 5-7 hari. Selanjutnya pengeringan, dan biji kakao kering siap diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk olahan seperti coklat batang, coklat bubuk, permen, maupun produk-produk olahan dari kakao lainnya. 

Jika ada dukungan dalam bentuk infrastruktur, pelatihan, atau kebijakan yang tepat, petani kecil bisa lebih berdaya dan Indonesia bisa meningkatkan hilirisasi kakao untuk menghasilkan produk dengan nilai ekonomi lebih tinggi.

Hal lain yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi komoditas kakao adalah peningkatan produktivitas. Saat ini produktivitas petani kakao Indonesia masih kalah jauh dibanding Ghana yang merupakan negara produsen kakao terbesar di dunia.

“Saat ini produktivitas kakao di Indonesia hanya sekitar 0,5 ton per hektar per tahun. Sementara negara saingan kita, penghasil kakao nomor 1 dunia yaitu Ghana, mereka produktivitasnya sudah di atas 1 ton per hektar per tahun,” tutur Evi.

Baca Juga: Laporan PBB Ungkap Pentingnya Digitalisasi Keuangan bagi Sektor Kakao Indonesia

“Kita punya beberapa varietas unggulan yang sudah dilepas diantaranya BL50 yang juga merupakan hasil varietas yang sudah dilepas oleh BSI Petri, itu potensinya adalah 4 ton per hektar per tahun. Jadi dengan produktivitas hanya 0,5 atau seperdelapannya masih sangat jauh untuk bisa kita tingkatkan lebih baik lagi,” tambahnya.

Karena itu, Evi berharap adanya kolaborasi antara pemerintah, petani, dan berbagai pihak untuk mengembangkan industri kakao di Indonesia.

“Sehingga dari sisi produktivitas bisa meningkat, kemudian juga bentuk-bentuk pengolahan yang ada itu bisa dilakukan di dalam negeri. Jangan sampai kita hanya mengekspor biji keringnya, kemudian kita membeli coklatnya dari luar negeri,” imbuhnya.