Kakao Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Diketahui, sektor ini merupakan yang terbesar di Asia Pasifik dan terbesar ketiga secara global. Kontribusinya mencapai $700 juta terhadap PDB per tahunnya serta menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat daerah, terutama di Sulawesi yang menyumbang 70% dari produksi kakao secara nasional. Selain itu, dilaporkan bahwa hampir sepertiga petani kakao adalah perempuan.

Sayangnya, mengutip laporan yang dirilis pada Rabu (8/5) oleh Better Than Cash Alliance, Partnership for Indonesia's Sustainable Agriculture (PISAgro), dan Pemerintah Indonesia, sebagian besar para petani kakao di Indonesia, yang per tahunnya bisa melakukan transaksi senilai $700 juta, masih mengandalkan uang tunai saat bertransaksi. Padahal, digitalisasi dalam sektor agrikultur membuka peluang yang lebih besar bagi sektor kakao untuk berkembang.

Baca Juga: Perkuat Peran UMKM sebagai Jantung Ekonomi, Amartha Dukung Inkusi Keuangan Digital Lewat impact investing

"Penerapan pembayaran digital dan mengintegrasikan transaksi ke sistem keuangan formal dapat memperluas inklusi keuangan bagi petani kakao, terutama bagi mereka yang perempuan, terutama dalam rangka memperkenalkan produk tabungan, pinjaman, dan asuransi. Laporan ini mengajak Pemerintah Indonesia serta stakeholder terkait bersama-sama membangun model bisnis yang layak untuk penerapan pembayaran digital, terutama di daerah terpencil," ujar Isvary Sivalingam, Southeast Asia Lead, UN-Based Better Than Cash Alliance, dikutip Jumat (10/5/2024).

Penerapan pembayaran digital bagi para pemasok kakao akan membawa potensi ekonomi yang cukup besar, apalagi makin banyak perusahaan yang berkomitmen meningkatkan efisiensi, sustainability, dan transparansi saat membeli pasokan kakao di Indonesia. Beberapa perusahaan global pun sedang mengupayakan agar 100% pasokan kakaonya sudah mendapat sertifikat sustainability pada tahun 2025.

Sayangnya, data terbaru menunjukkan adanya penurunan produksi kakao yang cukup besar selama sepuluh tahun terakhir di Indonesia. Perlu dilakukan investasi strategis untuk merevitalisasi sektor kakao ini. Namun, para petani kecil menghadapi tantangan dalam mengatur pengeluaran dan kebutuhannya karena rendahnya pendapatan dan terbatasnya akses layanan keuangan.

Berdasarkan survei, setiap hektare lahan perkebunan kakao membutuhkan biaya sebesar $45 per tahunnya. Untuk memulihkan sektor ini, para petani setidaknya memerlukan pinjaman tambahan yang lebih besar dan berjangka panjang sebesar $1.300 untuk setiap hektare lahan perkebunan. Dana ini dapat digunakan untuk membantu penanaman kembali serta peremajaan pohon maupun tanah.