Impor plastik menjadi isu yang semakin relevan di banyak negara, termasuk Indonesia. Plastik adalah material yang sangat serbaguna dan banyak digunakan di berbagai sektor, mulai dari industri kemasan, otomotif, elektronik, hingga medis. Meskipun demikian, impor plastik juga menghadirkan tantangan besar, baik dari segi ekonomi, lingkungan, maupun regulasi.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat impor limbah plastik maupun Non B3 yang tinggi. Banyak produk plastik yang tidak diproduksi secara lokal dan harus diimpor untuk memenuhi permintaan pasar domestik. Berdasarkan penelitian dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indonesia banyak menghasilkan sampah plastik, sekitar 6,2 juta ton.
“Sampah plastik yang 65% disumbang oleh packaging makanan atau pangan, sudah banyak penelitian yang sedang mengarah bagaimana keberlanjutan bungkus pakan ini bisa lebih bermanfaat digunakan. Bahkan ketika sedang banyaknya sampah plastik seperti ini, Indonesiapun masih mengimpor sampah plastik di tahun 2022 sekitar 200 juta kg,” ungkap Krisna Gupta, Peneliti Asosiasi CIPS pada pemaparan forum diskusi “Masa Depan Perdagangan Indonesia, di Oakwood Suites Kuningan, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: 5 Solusi Atasi Sampah Dimulai dengan Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Peran Impor Plastik dalam Perdagangan Indonesia
Dalam hal inilah yang menjadi pemicunya, Krisna menyampaikan bahwa Indonesia di tahun 2010 mengimpor banyak sekali sampah plastik dibanding sebelumnya. Terdapat alasan tersendiri pemanfaatan impor plastik yang terjadi, karena sebenarnya impor sampah plastik bukan berarti suatu yang buruk. Namun, hal tidak baiknya, sampai saat ini impor yang terjadi belum di pergunakan dengan bijak.
Pada satu hal poin dalam pembahasan ini Krisna menjelaskan, di tahun 2018, dimana ketika Cina melarang pengimporan sampah plastik dan mengakibatkan negara yang sebelumnya impor ke Cina menjadi impor ke negara tetangga, seperti negara di Southeast Asia khususnya Indonesia.
Diteliti lebih lanjut, Internasional trade kini tidak terlalu banyak melihat ke waste trade. Maka dari itu, CIPS melakukan penelitian dengan tujuan waste trade ini dapat dilakukan untuk membuka kembali pentingnya perdagangan plastik sampah di Indonesia, dan dapat menjembatani antara tiap negara di Disipite Environment, dan Disipite Trade Industry.
Kebijakan Pemerintah Tangani Impor Plastik
“Datangnya sampah plastik ini sebenarnya majority berasal dari negara maju, dengan main export berada di US dan Australia. Dan masuk pada tahun 2018, Eropa mengikuti ekspor sampah ke negara berkembang. Sesuai peraturan yang diundangkan pada September 2009 terjadi beberapa pengetatan kebijakan. Di tahun 2016 importing firm membuat keputusan akan adanya product license. Sejak tahun 2016 terdapat kebijakan yaitu tidak sembarang adanya impor dan diharuskan menggunakan product license,” ungkap Krisna.
Pada kebijakan inilah menjadi suatu usaha yang baik dari pemerintah dengan harus adanya product license. Dan menuju tahun 2022 kebijakan semakin diperketat lagi dalam eksportir. Dengan melakukan impor plastik dapat menjadi acuan untuk menumbuhkan sebuah industri yang mungkin selama ini di luar radar yaitu recycle industry.
Baca Juga: Jadi perhatian Dunia, Jumlah Sampah Pangan di Indonesia Mengkhawatirkan
“Nah, bisa jadi recycling ini adalah sebuah industri yang cukup ganas yang digunakan cukup banyak kapital, tapi dia juga cukup banyak digunakan oleh labor intensif. Artinya ada comparative advantage yang bisa di explore pada industri recycling itu, sehingga akan welfare improving as long as indonesia, atau menjadi negara yang melakukan recycling dibanding negara maju,” ucapnya.
Dengan sumber dari luar yang sudah dipermendatkan dan pemasukan plastik yang sudah bersih karena kesadaran lingkungan konsumen di barat sudah sangat tinggi. Pada penelitian ini, Krisna memaparkan, meskipun impor plastik semakin meningkat, dapat diartikan, dengan impor plastik yang dimanfaatkan dapat menjadi welfare improving bagi ketenaga kerjaan di Indonesia.
Dampak impor plastik bagi perdagangan Indonesia adalah campuran antara keuntungan ekonomi dan tantangan lingkungan. Sementara sektor manufaktur di Indonesia sangat bergantung pada pasokan plastik impor untuk memenuhi permintaan domestik dan internasional, ketergantungan ini menimbulkan defisit perdagangan dan meningkatkan masalah sampah plastik.
Maka dari itu, CIPS menyarankan sebaik mungkin, masa depan perdagangan Indonesia melalui impor plastik dapat menjadi hal utama yang perlu diperhatikan.
Baca Juga: Gandeng Waste4Change, Perusahaan Kosmetik Korsel Ini Bersihkan Sampah Sungai Citarum
“Melihat trend ke depan, hal ini dapat menjadi sesuatu yang akan menjadi pantauan peneliti CIPS. Seiring dengan banyaknya data investasi dan ekspor botol plastik dan bungkus plastik makanan lainnya yang lebih sustainable. Karena trade inilah bisa menjadi solusi dari masalah Global saat ini dalam manajemen sampah,” tutupnya.