Calon Presiden nomor urut 01 Anies Baswedan ikut menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden boleh ikut kampanye. 

Meski banyak pihak menyebut partisipasi kepala negara dalam kampanye hajatan politik tak menyalahi peraturan, namun Anies berpandangan, sebagai pemimpin sebuah negara presiden tak bisa melakukan sesuatu menurut seleranya sendiri.

Baca Juga: Jusuf Kalla Ngaku Diintimidasi Setelah Deklarasi Dukung Anies-Muhaimin di Pilpres 2024

Anies mengatakan, dirinya tak ingin menghakimi pernyataan Jokowi, dia berpandangan benar salahnya pernyataan tersebut hanya patut dinilai pakar hukum tata negara. 

"Jadi saya ketika mendengar itu, saya bilang panggil ahli hukum tata negara, apakah pernyataan itu sesuai ketentuan hukum yang ada di republik ini, jadi bukan soal setuju atau tidak setuju, ini benar atau salah," kata Anies dilansir Sabtu (27/1/2023).

Menurut eks Gubernur DKI Jakarta itu jika diperdebatkan mengenai salah benarnya pernyataan tersebut, maka persoalan itu tidak bakal beres, jadi yang benar menurut dia dia adalah meminta pandangan ahli atau pakar hukum yang lebih berkompeten bicara terkait masalah itu. 

"Kalau kita membiarkan setiap pernyataan itu kita cari yang setuju atau tidak setuju akhirnya nggak jelas benar apa salahnya," sambungnya.

Menurut Anies presiden merupakan posisi tertinggi sebagai penjaga etik di suatu negara. Sehingga tugasnya harus melampaui partisan politik atau politik kepentingan.

"Menurut pendapat kami, sebagai penjaga etik di republik ini, dia harus melampaui partisan politik, dia harus melampaui politik-politik kepentingan, karena dia membawa simbol negara,"jelasnya.

Seharusnya kata Anies, seorang kepala negara harus menjadi pengayom dan contoh buat masyarakat luas.

"Memayungi semua, mengayomi semua, dan memastikan bahwa proses ini berjalan lancar.Bagaiamana kalau penyelenggara panitia sekaligus peserta, apa yang terjadi. Jadi kalau penyelenggara yah jadi penyelenggara negara, peserta kontestasi yah peserta kontestasi, jangan dicampur,"sambung Anies.

Karena kalau dicampur kepentingan, Anies mengungkapkan akan menurunkan kewibawaan proses demokrasi di Indonesia.

"Jadi menurut hemat kami terkait statementnya ahli hukum tata negara, mereka yang tahu, ada pasalnya pasti,"ujar Anies.

Anies menambahkan, kepala negara harus ada di atas partisan politik dan justru mengayomi semuanya dan menjalankan pesan yang disampaikan oleh presiden.

"Karena kebetulan saya diajak makan siang waktu itu. Waktu makan siang itu saya sampaikan, pak presiden, saya sering bertemu orang-orang yang mencintai bapak. Dan mereka mengatakan orang orang yang mencintai bapak berpesan sampaikan ke bapak presiden netral,"ujarnya.

Baca Juga: PDIP: Jokowi Ambisi 3 Periode, Makanya Kampanye Ganjar Dibuntuti Terus

Baca Juga: Jokowi Mau Ikut Kampanye Pemilu 2024, Jimly Asshiddiqie: Nggak Ada Peraturan yang Dilanggar, tapi…

"Dan beliau menyampaikan negara akan netral menurut saya laksanakan apa yang disampaikan itu," pungkasnya. 

Pandangan Pakar Hukum Tata Negara 

Guru besar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengaku sepakat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengklaim kepala negara boleh ikut kampanye pada pemilu presiden atau legislatif.

Yusril mengaku sepakat dengan pernyataan Jokowi lantaran hingga sekarang ini tak ada peraturan yang melarang hal itu, bahkan dalam  Undang-Undang Pemilu Pasal 280 secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya.

Sementara, pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan.

“Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak,” kata Yusril pada Rabu (24/1/2024).

“Aturan kita tidak menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” tambahnya.

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyatakan, jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode.

Jika ada pihak yang ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

“Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” beber dia.

Yusril, yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), berani berdebat ihwal ungkapan tidak etis yang diarahkan kepada Presiden Jokowi jika dia berpihak pada salah satu kandidat. Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.

“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” sambung dia.