Pada tahun 1982, Aqua mengganti bahan baku yang semula berasal dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri (self-flowing spring) karena dianggap mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan sodium.
Salah satu pelanggan awal AQUA adalah kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Para insinyur asal Korea Selatan ini membawa kebiasaan minum air mineral, yang kemudian menular kepada para pekerja lokal. Dari kebiasaan sederhana itulah, masyarakat Indonesia perlahan mulai menerima kehadiran air minum dalam kemasan.
Adapun alasan di balik Tirto merintis bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) lantaran suatu peristiwa yang sempat ditemuinya saat bekerja di Pertamina. Ketika itu, ia menjabat sebagai Deputy Head Legal and Foreign Marketing Permina dan tengah mempersiapkan rapat bersama perwakilan sebuah perusahaan asal Amerika Serikat di Jakarta.
Namun, rapat tersebut nyaris batal karena istri dari wakil perusahaan tersebut mendadak sakit perut. Belakangan diketahui, hal itu disebabkan karena ia tidak terbiasa mengonsumsi air sumur yang direbus. Peristiwa ini kemudian menjadi titik balik bagi Tirto untuk menghadirkan solusi berupa air minum kemasan yang higienis, steril, dan praktis untuk dikonsumsi.
Baca Juga: Mengenal Sosok Hashim Djojohadikusumo, Pengusaha Sukses Adik Presiden Prabowo Subianto
AQUA, merek air minum yang dirintis oleh Tirto bersama adik iparnya, akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Namun, perjalanan bisnis ini tidak selalu mulus. Pada tahun 1978, perusahaan sempat berada di ambang kebangkrutan karena penjualan tersendat, membuat Tirto harus terus menutupi biaya produksi dengan dana pribadinya.
Dalam situasi sulit tersebut, Tirto memutuskan untuk menaikkan harga jual AQUA hampir tiga kali lipat. Keputusan berani itu ternyata berhasil, bahkan mampu mendongkrak omzet PT Golden Mississippi secara signifikan.
Tirto sendiri menutup usahanya pada tahun 1994, dan setelah itu pengelolaan AQUA dilanjutkan oleh keluarganya. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1996, kepemilikan mayoritas beralih ke Danone, perusahaan asal Prancis. Kini, keluarga Tirto hanya memegang sekitar 26 persen saham AQUA.
Tirto Utomo berpulang pada 16 Maret 1994 dan dimakamkan di pemakaman Tionghoa yang terletak tak jauh dari Hotel Kresna, Wonosobo. Semasa hidupnya, ia mendampingi istrinya, Kwee Gwat Kien (dikenal juga sebagai Lisa Utomo), putri seorang bankir senior di The Javasche Bank, yang kini bernama Bank Indonesia. Kisah pertemuan Tirto dan Lisa sendiri bermula dari keterlibatan mereka dalam organisasi pergerakan pemuda Tionghoa bernama Cung Lien Hui ketika masih duduk di bangku sekolah.