Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintahan Prabowo Subianto dalam mempercepat program pencampuran bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 50% atau B50 yang ditargetkan mulai tahun 2026.

Namun, menurut Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, untuk peningkatan campuran biodisel harus diimbangi dengan peningkatan produksi sawit nasional.

Baca Juga: PBNU Dukung Peremajaan Sawit Rakyat Demi Hilirisasi dan Kemandirian Ekonomi

Sambungnya, ia menilai saat ini ekspor sawit sudah terganggu dengan kewajiban B40. Karena itu, ia melihat perlu dilakukan perluasan areal pertanian ke wilayah yang belum dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi.

Baca Juga: Demi Kesejahteraan Petani, DPR Dorong Percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat

"Sampai B100 pun kita siap. Tapi harus dihitung jika nanti B50 diterapkan tahun depan, apakah stoknya cukup? Pasti akan mempengaruhi yang lain, terutama ekspor," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Rabu kemarin. 

Selain itu, ia juga mencatat jika ekspor sawit pada tahun 2024 mengalami penurunan yang signifikan.

Tercatat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit dan turunannya menurun sebesar 17,33% dibandingkan tahun sebelumnya, dari 26,13 juta ton menjadi 21,60 juta ton dan terjadi penurunan pada nilai ekspor dari US$22,7 miliar menjadi US$20 miliar.

"Di 2024 ekspor sawit turun. Nah, di pemerintahan baru ini kita berharap ekspor digenjot lagi. Penerapan biodiesel kami tidak menentang, tapi harus dilihat mana yang lebih menguntungkan. Kalau produksi stagnan, pasti ekspor dikorbankan," ujarnya.

Terkait itu, ia menyebut penyebab utama penurunan adalah lambannya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting.

"Kalau PSR tidak dipercepat, pasti bermasalah. Kita adalah produsen sekaligus konsumen terbesar di dunia. Tapi jalur kemitraan dengan perusahaan banyak hambatannya, justru jalur kedinasan lebih lancar," tukasnya.