Dua tokoh di Kabinet Merah Putih yakni Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan belakangan menyedot perhatian publik, keduanya menjadi sorotan lantaran kerap silang pendapat, argumen mereka bertolak belakang dalam menyikapi berbagai program.

Oleh banyak pihak, perbedaan pendapat keduanya dinilai sebagai sesuatu yang lazim, dalam sebuah kabinet perbedaan pendapat baik, itu merupakan tanda bahwa organisasi berjalan sehat dan demokratis.  Keduanya dinilai sama-sama punya maksud mulia untuk kemajuan bangsa, mereka hanya berbeda memilih jalan. 

Baca Juga: China Beri Lampu Hijau, Luhut Pastikan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Siap Digas

Sebelum perang Purbaya dan Luhut meledak di publik, sebetulnya keduanya sudah sangat dekat, mereka bukanlah sosok yang  baru dipertemukan. 

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Purbaya dan Luhut sempat bekerja sama, lebih tepatnya Purbaya menjadi anak buah Luhut dengan menjabat staf khusus Bidang Ekonomi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada Juli 2016 hingga Mei 2018. 

Terlepas dari masa lalu keduanya, perbedaan pendapat Purbaya dan Luhut dimulai ketika Purbaya dengan tegas mengatakan dirinya ogah menganggarkan pembayaran utang kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). 

Purbaya melontarkan pernyataan itu bukan sekadar mencari gara-gara, ia punya kalkulator sendiri, baginya pelunasan utang angkutan massal yang menjadi lambang modernisasi transportasi darat di Indonesia itu bisa dilakukan secara mandiri oleh Danantara. 

Menurutnya lembaga yang baru dibentuk di era Presiden Prabowo itu tidak sulit melunasi utang Whoosh, sebab lembaga yang dipimpin Rosan Roeslani itu menerima dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nominal yang sangat fantastis. 

Purbaya memperkirakan Danantara menerima keuntungan yang berkisar dari Rp90 hingga Rp100 Triliun per tahun. 

Dengan proyeksi besaran dividen itu, Danantara masih bisa tutup mata mencicil Rp2 triliun per tahun untuk melunasi utang Whoosh, sebuah skema pembayaran utang yang dirasa paling realistis dan masuk akal tanpa mengutak atik APBN. 

Pernyataan Purbaya membuat Luhut terpancing sebab ia terlibat dan mengambil peran penting dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. 

Luhut ikut menanggapi pernyataan Purbaya setelah omongannya menjadi topik utama pemberitaan media nasional, dimana pernyataan itu juga bertepatan dengan momen perencanaan pengembangan Whoosh rute Jakarta-Surabaya. 

Luhut juga dengan tegas mengatakan, bahwa selama ini tidak ada satu pun pihak yang meminta Purbaya mengeluarkan APBN untuk melunasi utang Whoosh. 

Ia menyayangkan pernyataan itu sebab menjadi isu besar yang merembet kemana-mana, dimana isu-isu tersebut dikhawatirkan menjadi penghalang proses negosiasi pemerintahan Indonesia dan China terkait proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. 

Sebagai orang yang terlibat penuh dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Luhut mengatakan, pelunasan utang Whoosh sebenarnya tak terlampau bermasalah, tanpa mengutak atik APBN, utang Whoosh kata dia bisa dituntaskan  lewat restrukturisasi utang dengan pihak China Development Bank (CDB), lembaga keuangan yang menjadi kreditur utama proyek tersebut.

Baca Juga: Respons OJK Soal Menkeu Purbaya Minta Jajaran Pasar Modal Benahi Saham Gorengan

Luhut mengungkapkan bahwa pemerintah sebenarnya sudah pernah membuka negosiasi dengan pihak CDB saat dirinya masih menjabat sebagai Menko Marves.

Namun, prosesnya sempat tertunda lantaran pemerintah perlu menunggu Keputusan Presiden (Keppres) untuk membentuk tim negosiasi resmi.

Polemik Family Office 

Perang senyap antara Purbaya dan Luhut menjalar ke mana-mana, arenanya tak cuma pada proyek kereta cepat atau Whoosh, tetapi perang itu juga terjadi di tempat lain yakni proyek Family Office, itu adalah proyek ambisius gagasan Luhut yang telah dicetus beberapa tahun lalu.