9. Hayam Wuruk

Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah antara tahun 1350-1389 masehi. Nama Hayam Wuruk bermakna “ayam terpelajar”. Saat ia dilahirkan, alam menyambutnya dengan terjadinya gempa bumi, hujan lebat, dan meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur. Setelah resmi menjadi raja, gelarnya adalah Sri Rajasanagara.

Dikutip dari Cribb dan Kahin dalam Historical Dictionary Of Indonesia (2012), Hayam Wuruk dinobatkan setelah Ratu Tribhuwana Tunggadewi menyerahkan takhta Majapahit kepadanya. Ketika menjadi Raja Majapahit, Hayam Wuruk baru berusia 16 tahun.

Hayam Wuruk adalah raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit yang memerintah didampingi oleh Patih Gajah Mada.

Bersama Gajah Mada, Hayam Wuruk membangun Majapahit ke puncak kejayaan berdasarkan falsafah kenegaraan: Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa yang bermakna "Meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu dan tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.

Hayam Wuruk juga merupakan sosok yang pemberani dan tegas. Ia juga memiliki keahlian dalam bidang pemerintahan. Inilah yang kemudian membawanya sukses membawa Imperium Majapahit mencapai masa kejayaan.

10. Raden Patah

Raden Patah merupakan anak raja Majapahit terakhir, yaitu raja Brawijaya V. Ketika dewasa, Raden Patah diberikan kekuasaan atas daerah Demak dan mendirikan Kerajaan Demak.

Raden Patah tinggal dan dididik oleh Arya Damar sekitar 15 tahun, yaitu dari tahun 1456 sampai 1471. Dalam kurun waktu tersebut, Raden Fatah tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga ilmu pemerintahan kepada Arya Damar.

Nama lain Raden Patah adalah Jin Bun. Beberapa sumber menyebutkan julukannya ini diberikan oleh sang kakek, Syekh Bentong.

Dengan bantuan para Wali Songo, Raden Patah berhasil mengembangkan Kerajaan Demak menjadi pusat perdagangan yang penting karena disinggahi oleh para pedagang dari barat yang menuju timur, maupun sebaliknya.

Kerajaan Demak tidak hanya menjadi pusat perdagangan yang maju, tetapi juga pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Raden Patah memerintah Kerajaan Demak selama 30 tahun, hingga akhir hayatnya. Raden Patah meninggal pada 1518.

11. Sultan Agung

Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang.

Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.

Sultan Agung menaiki takhta sebagai pemimpin pada tahun 1613 ketika usianya 20 tahun. Mengutip dari kebudayaan.jogjakota.go.id, puncak kejayaan Sultan Agung berada pada tahun 1627, yakni setelah 14 tahun kepemimpinannya berlangsung dengan wilayah kekuasaan yang luas, meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Timur.

Sebagai penguasa tertinggi, Sultan Agung juga mampu membawa Kerajaan Mataram pada peradaban kebudayaan ke tingkat yang lebih tinggi dengan berbagai keahlian yang dimiliki.

Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran melakukan perlawanan dengan Belanda yang kala itu hadir lewat kongsi dagang VOC. Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan karena Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa.

Berdasarkan wasiatnya, Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan putranya yakni Raden Mas Sayyidin.

12. Sunan Pakubuwono IV

Pakubuwono IV adalah putra Pakubuwono III yang ketika lahir pada 2 September 1768 diberi nama Raden Mas Subadya. Ibunya bernama GKR Kencana, permaisuri keturunan Sultan Demak. Raden Mas Subadya naik takhta pada 29 September 1788, enam hari setelah wafatnya Pakubuwono III.

Setelah itu, ia menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IV dan resmi menjadi raja Kasunanan Surakarta ketiga. Pakubuwono IV juga dikenal sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta pada usia muda (20 tahun) dan berwajah tampan.

Dikutip dari Kompas.com, berbeda dengan ayah dan kakeknya yang tunduk terhadap VOC, Pakubuwono IV adalah raja pemberani yang sangat membenci kehadiran bangsa Belanda. Selain itu, sebagai pemeluk Islam yang taat, Pakubuwono IV mengangkat para ulama dalam pemerintahannya.

Namun, oleh para pejabat istana yang menganut Islam Kejawen, sikapnya dianggap terlalu keras, terutama dalam menyingkirkan para kerabat yang tidak sepaham dengannya. Hal ini kemudian memicu konflik yang berujung pada Peristiwa Pakepung.

Dalam Serat Babad Pakepung yang ditulis oleh Yosodipuro II, pujangga Keraton Kartasura, Pakubuwono IV diceritakan sebagai ahli strategi yang cerdik dan ahli sastra, khususnya yang bersifat rohani. Sifatnya ini membuat pemerintahannya mampu bertahan meski terjadi pergantian pemerintah penjajah, dari Belanda ke Inggris hingga kembali lagi ke Belanda.

Pakubuwono IV memerintah hingga akhir hidupnya pada 2 Oktober 1820. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan di Kedhaton Besiyaran, Yogyakarta.

13. Sri Sultan Hamengkubuwano IX

Gusti Raden Mas Dorodjatun atau Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir pada tanggal 12 April 1912. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Beliau juga termasuk salah satu pahlawan nasional.

Selama memerintah, Sultan HB IX berhasil membawa banyak perubahan di Kasultanan Yogyakarta. Setelah berhasil dengan kerajaan yang dipimpinnya, Sultan HB IX melanjutkan kiprahnya di pemerintahan RI sebagai menteri hingga wakil presiden.

Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Proyek selokan Mataram ini berhasil menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga kini.

Di bidang pendidikan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh berdirinya Universitas Gadjah Mada. Dikutip dari kratonjogja.id, layaknya raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni.

Terinspirasi dari cerita wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).

Pada tanggal 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal dunia di Washington DC, Amerika Serikat, pada usia 76 tahun. Warisannya sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berjiwa besar terus diabadikan oleh bangsa Indonesia, dan beliau dihormati sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Baca Juga: Kisah Sukses Kopi Kenangan, Raja Kopi Asia yang Menembus Belantara Pasar Internasional