4. Dyah Balitung

Dyah Balitung adalah raja Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa dari tahun 899 hingga 911.Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Ia memerintah dengan gelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Dharmmodaya Mahasambhu.  Dari pemerintahannya yang berlangsung sekitar 12 tahun, para ahli telah menemukan setidaknya 45 prasasti.

Salah satu prasasti terkenal yang dikeluarkan Dyah Balitung adalah Prasasti Mantyasih, yang berisi silsilah raja Mataram Kuno.

Dyah Balitung membawa Kerajaan Mataram Kuno mencapai kemajuannya. Berbagai terobosan inovasi kebijakan pembangunan, hingga kebijakan politik dicetuskan. Alhasil Kerajaan Mataram saat itu menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara.

5. Mpu Sindok

Melansir Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Mpu Sindok atau Pu Sindok disebut juga dengan Dyah Sindok merupakan raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur, yang memerintah sekitar tahun 929 – 947.

Mpu Sindok adalah raja yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari Bhumi Mataram masa periode Jawa Tengah ke Jawa bagian timur. Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Rake Hino Dyah Sindok Sri Isanawikrama.

Mpu Sindok diperkirakan sebagai merupakan cucu dari Mpu Daksa. Jika benar demikian, maka Mpu Sindok dapat disebut sebagai keturunan Sanjaya, meskipun ia dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.

Pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakai Mahamantri Halu. Sedangkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, ia naik pangkat menjadi Rakai Mahamantri Hino.

Kedua posisi tersebut merupakan posisi tingkat tinggi yang hanya dapat diberi oleh keluarga raja, yang berarti, Mpu Sindok merupakan seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.

Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain.

Misalnya, ia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.

6. Raja Airlangga

Airlangga sering ditulis dengan Erlangga adalah pendiri kerajaan Medang Kahuripan, Panjalu dan Janggala di Jawa Timur yang memerintah pada sekitar tahun 1019-1043 M.

Airlangga merupakan putra dari Raja Udayana dan Ratu Mahendradata. Mengutip Repository Kemdikbud, Mahendradata atau Gunapriyadharmapatni adalah cicit Mpu Sindok.

Mpu Sindok sendiri merupakan seorang Raja Mataram tersohor yang memiliki gelar Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa. Berdasarkan latar belakang ini, diketahui bahwa Raja Airlangga adalah salah satu keturunan Mpu Sindok.

Airlangga naik takhta dengan bergelar abhiseka sebagai Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Sejak naik takhta, Raja Airlangga memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang pernah melepaskan diri dari Kerajaan Medang. Selain itu, Airlangga juga menyerang Raja Wurawari dan semua musuh yang memiliki andil dalam runtuhnya Kerajaan Medang.

Airlangga menjadi satu-satunya raja di Kahuripan karena pada akhir pemerintahannya memilih untuk membagi kerajaannya menjadi dua untuk putranya dan sepupunya. Setelah turun takhta, Airlangga memilih untuk menjadi pertapa hingga akhir hayatnya pada 1049.

7. Mapanji Jayabaya

Jayabaya merupakan Raja Panjalu atau Kediri yang memerintah pada sekitar tahun 1135-1157.  Jayabaya juga dikenal sebagai raja yang mampu mempersatukan Jenggala dengan Kediri.

Jayabaya dianggap sebagai pemimpin bijak yang diibaratkan laksana Sang Hyang Wisnu yang menjaga kesejahteraan. Kepemimpinannya yang bijaksana membawa masa keemasan bagi Kerajaan Kediri yang didukung juga oleh cendekia terkemuka, seperti Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna, dan Manoguna.

Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabaya, Keraton Kediri mencapai puncak peradaban dengan menghasilkan karya sastra bermutu tinggi, seperti kakawin Baratayuda, Gathutkacasraya, dan Hariwangsa.

Strategi Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya juga luar biasa. Pertanian dan perkebunan berlimpah, dan ekonomi berjalan lancar, menjadikan Kerajaan Kediri sebagai negara yang dikenal dengan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.

Prabu Jayabaya sendiri sering melakukan tirakat dan semedi di tengah hutan yang sunyi. Jayabaya juga dikenal dengan berbagai ramalannya yang dikenal sebagai Jangka Jayabaya. Ramalan-ramalan ini awalnya tertuang dalam bentuk tembang atau kakawin yang ditulis oleh Jayabaya. Tidak diketahui siapa yang membuat kisah-kisah tersebut.

Yoyok Rahayu Basuki dalam bukunya Kitab Musasar Jangka Jayabaya (2021) menjelaskan, setidaknya ada 3 prasasti yang menjelaskan mengenai kejayaan Kediri di bawah kepemimpinan Jayabaya. Antara lain prasasti Hantang bertahun 1135, prasasti Talan (1136) dan prasasti Jepun (1144). Sedangkan dalam bentuk literasi yakni Kakawin Bharatayuddha tahun 1157.

8. Raja Kertanagara

Kertanegara merupakan raja terbesar Kerajaan Singasari yang tercantum dalam sejarah Nusantara. Raja Kertanegara memiliki gelar Sri Maharajadhiraja Sri Kertanegara.

Raja Kertanegara adalah putra dari Raja Wisnuwardhana dan Jayawardhani atau Waning Hyun. Ibunya termasuk cucu dari Ken Dedes dan Ken Arok sebagai pendiri Kerajaan Singasari. Sebagai keturunan raja, maka ia diangkat menjadi raja kelima dari Kerajaan Singasari.

Kertanegara adalah raja dengan masa pemerintahan terlama di Kerajaan Singasari. Semasa kekuasaan Kertanegara, Kerajaan Singasari meluas hingga Bali, Sunda, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sumatera.

Kekuasaan Raja Kertanegara berakhir pada tahun 1292 setelah ditaklukkan Jayakatwang dari Kediri.

Baca Juga: Sosok Raja Jawa dalam Pidato Bahlil dan Respons Santai Megawati: Saya Sarapan Sambil Ketawa