Maestro properti Tanah Air, Ciputra sudah punya hasrat besar untuk segera mencari pekerjaan di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB), setelah gonta ganti profesi pemuda dari Gorontalo itu ingin menjajal pekerjaan yang lebih profesional sesuai ilmu yang ia dapat di bangku kuliah.
Hasrat menjadi arsitek atau konsultan atau apapun yang berkaitan dengan bangunan terus lalu lalang di pikirannya kendati ketika ia kuliahnya baru masuk tingkat II. Pikiran yang sama juga dialami, dua sahabatnya Sofyan dan Brasali yang juga berpikir demikian, maklum saja ketiganya datang dari keluarga pas-pasan, sehingga mereka mesti mencari biaya tambahan untuk sekadar bertahan hidup di kota Bandung.
Baca Juga: Tentang Ciputra dan Bandung: Perjuangan Hidup Menuntaskan Studi di ITB
Keinginan ketiganya mencari kerja pada bidang yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari selaras dengan kondisi Kota Bandung ketika itu, di era 50-an Bandung cukup riuh oleh pembangunan, pemerintahan Soekarno juga sedang gencar melakukan pembangunan gedung-gedung pemerintahan pasca peperangan. Ciputra dan dua sahabatnya sangat terobsesi untuk mendapat pekerjaan yang diimpi-impikan.
“Di mana-mana orang melakukan renovasi atau membuat bangunan baru. Itu ikut menggairahkan kami. Sudah jadi agenda tetap, pada akhir pekan kami bertiga berkeliling Bandung dan memperhatikan proyek-proyek bangunan. Kami membicarakan apa saja yang kami lihat: arsitektur bangunan, kekokohan struktur, kualitas bahan baku, dan cara kerja. Kadang kami bicara dengan para pekerja atau mandor, menanyakan banyak hal. Tak jarang juga kami langsung mengobrol dengan pemilik bangunan. Dari hasil pembicaraan itu kami mendapatkan wawasan ilmu semakin banyak,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Senin (23/5/2025).
Hampir disetiap malam ketiga sahabat ini selalu menghabiskan waktu untuk mendiskusikan masalah bangunan, kebetulan secara selera ketiganya sama-sama mengagumi bangunan yang kuat dan berdaya fungsi tinggi di sisi lain mereka juga sangat menyukai sisi artistik, ketiganya punya komitmen kuat untuk membuat bangunan yang tidak hanya punya daya tarik fisik tapi lemah dalam daya fungsi.
“Dalam diskusi-diskusi, kami sering membahas bangunan-bangunan yang kami lihat dan mengkritik apa yang menurut kami tak selaras dengan tujuan mendasar bangunan: yakni harus sebesar mungkin menciptakan manfaat. Banyak bangunan yang cantik, arsitekturnya menakjubkan, tapi memboroskan ruang atau area dan tidak berdaya guna efektif. Hanya bagus saja,” ujarnya.
Merealisasikan Mimpi
Segala upaya dilakukan Ciputra dan kedua sahabatnya untuk bisa mendapat pekerjaan, namun perjuangan keras itu belum membuahkan hasil. Tak putus harapan, ketiganya terus berjuang tetapi nasib mujur belum berpihak kepada mereka.
Di tengah kebingungan dan kekuatan hasrat untuk berkarya dan mendapatkan penghasilan sendiri, Ciputra kemudian mendesak kedua sahabatnya untuk segera berani merealisasikan impian mereka lewat cara yang tak bisa yakni membuka firma konsultan arsitek.Ide Ciputra disambut antusias, ketiganya segera menyiapkan segala sesuatunya termasuk dokumen untuk mengurus firma tersebut
“Kami memberi nama CV Daya Tjipta. Kami sudah layak untuk percaya diri karena mahasiswa tingkat dua ITB saat itu terbilang sudah memiliki cukup ilmu untuk terjun mengerjakan bangunan,” ujar Ciputra.
Pembuatan firma berjalan mulus nyaris tanpa hambatan, ketiganya kemudian nekat menyewa sebuah bangunan yang difungsikan sebagai kantor tempat mereka bekerja. Tempat mereka berkantor tersebut hanyalah sebuah garasi yang tak dipakai pemiliknya.
Baca Juga: Dari Sulawesi ke Pulau Jawa: Pelayaran Ciputra Menuju Masa Depan
“Kami hanya meletakkan tiga meja kerja di dalamnya setelah dibersihkan dan lantainya dipel hingga mengilat. Tak ada barang apa-apa lagi. Pemilik rumah berbaik hati menyediakan telepon sehingga kami bisa bekerja agresif, mengontak berbagai pihak yang punya kemungkinan memakai jasa kami,” kenangnya.
Ketiganya memutuskan berkantor setiap hari, mereka menawarkan jasa rancang bangunan, memberi konsultasi untuk menjaga kelancaran pengerjaan proyek, atau sekaligus menjadi pelaksana proyek. Intinya mereka menerima permintaan apa pun seputar pembangunan.
“Begitulah kami memulai lembaran baru. Sejarah baru. Saya, Brasali, dan Sofyan memiliki saham sama besar,” tuturnya.
Baca Juga: Tentang Kepedihan Masa Kecil Ciputra dan Harapan Merengkuh Mimpi Menjadi Insinyur
Sudah memiliki firma, bukan berarti Ciputra dan kedua sahabatnya langsung mendapat klien, berbagai tawaran yang mereka layangkan semuanya mental, tak ada yang nyangkut. Lagi-lagi mereka tak pernah putus asa, ketiganya kemudian memutuskan terjun langsung ke lapangan mencari klien, tetapi sistem jemput bola itu juga rupanya tak menjanjikan
“Dengan motor saya, kami berboncengan keliling kota Bandung mencari klien. Sering seharian kami berkeliling sampai bersimbah keringat, makan dan minum seadanya karena harus mengirit uang. Hasilnya nihil,” tandasnya.