Di samping itu, ada filosofi unik dari pemilihan nama “KaIND” dari brand yang dirintis. Bisa dikatakan, brand ini memiliki makna ganda, di mana mengangkat kekayaan tekstil Indonesia sekaligus membawa restu keluarga dalam setiap langkah perjalanannya.

“Nama aku Meli Indarto. Jadi aku ingin memasukkan unsur nama keluarga ke dalam brand ini. "Indarto" ada di dalamnya, lalu juga ada kata "kain" yang identik dengan fashion. Jadi KaIND terasa pas sebagai nama brand yang juga mencerminkan budaya Indonesia,” tuturnya.

Berangkat dari Komunitas

Sebelum menjadi brand, Melie mengaku mulai merintis dari sebuah komunitas yang bekerjasama dengan pengrajin tenun dan batik pada 2015 silam. Selama dua tahun pertama, Melie fokus menyamakan visi dan misi dengan tim, karena ia percaya bahwa membangun KaIND bukanlah perlombaan sprint, melainkan lari maraton yang membutuhkan strategi jangka panjang. 

Melie membimbing timnya agar memiliki pemahaman yang sama, terutama dalam hal etos kerja. Berasal dari Pasuruan, Melie menyadari bahwa ritme kerja di sana berbeda dengan di Jakarta, lebih lambat dan santai dibandingkan budaya kerja yang lebih cepat di ibu kota. 

Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan kecepatan kerja tanpa mengorbankan kesejahteraan mental timnya. Oleh karena itu, ia memastikan bahwa standar operasional (SOP) dan etos kerja mereka selaras. 

Setelah dua tahun proses penyesuaian tersebut, KaIND akhirnya resmi menjadi badan usaha pada tahun 2017 dan mulai memperkenalkan produknya ke pasar Jakarta serta Bali melalui berbagai pameran.

Manfaatkan Bahan dari Alam

Melalui KaIND, Melie ingin membuktikan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa, salah satunya sutra Eri, jenis sutra unik yang dihasilkan oleh ulat yang memakan daun singkong. Berbeda dari sutra konvensional, sutra Eri dikenal lebih kuat, bernapas, dan memiliki kilau alami yang elegan.

“Biasanya, ulat sutra dibunuh hidup-hidup di dalam kepompong untuk mengekstrak seratnya. Tapi sutra Eri berbeda. Kami bisa membuka kepompong satu per satu saat pupa-nya sudah mature, sehingga tetap bisa berkembang menjadi ngengat sutra,” jelas Melie.

“Setelah ngengat keluar, kepompong kosongnya baru diproses. Kami merebusnya dan menggilingnya untuk menghasilkan serat sutra yang sangat lembut dan bisa digunakan untuk pakaian,” tambahnya. 

Keunggulan utama sutra Eri dibandingkan sutra biasa terletak pada kelembutannya dan praktik produksinya yang lebih etis. Berbeda dengan sutra konvensional yang memerlukan proses pemanenan dengan membunuh pupa di dalam kepompong, sutra Eri memungkinkan kepompong dipanen tanpa harus mengorbankan ulat sutra di dalamnya.

Selain itu, proses produksinya jauh lebih sederhana dan tidak membutuhkan lingkungan industri yang steril seperti pada budidaya sutra biasa. Sutra Eri dapat dikembangkan langsung di rumah-rumah petani dengan menggunakan rak bambu atau kayu sederhana.

Baca Juga: Inovasi Berkelanjutan, Peluncuran Batik dengan Lilin Berbasis Kelapa Sawit

“Di tempatku di Pasuruan, juga di Bali, Malang, dan sekitarnya, rumah-rumah petani bisa langsung membudidayakan ulat sutra dan hasil panennya tinggal disetorkan ke KaIND untuk diolah lebih lanjut menjadi benang,” terang Melie. 

Selain bahan alami, KaIND juga menerapkan pewarnaan dengan bahan natural seperti kulit kayu mahoni untuk warna coklat, kayu secang untuk warna pink, dan indigofera untuk warna biru. Pendekatan ini tentunya sejalan dengan tren sustainable fashion yang diprediksi semakin berkembang pada 2025. 

Menurut Melie, konsumen kini semakin sadar akan gaya hidup berkelanjutan, termasuk dalam fashion sehari-hari. Namun, masih ada hambatan, terutama dalam ekosistem yang belum sepenuhnya terbentuk dan harga yang dianggap lebih tinggi dibandingkan produk konvensional.