Industri fashion di Indonesia semakin menunjukan kesadaran akan peduli lingkungan. Banyak brand yang kini berlomba menghadirkan produk ramah lingkungan, mulai dari penggunaan bahan daur ulang hingga pendekatan produksi yang lebih etis.
Namun tak dipungkiri, di tengah tren sustainable atau berkelanjutan ini masih ada tantangan yang perlu dihadapi. Seperti dominasi bahan impor yang dianggap lebih unggul, dibandingkan serat-serat lokal.
Melie Indarto gelisah melihat fenomena yang ada. Sudah lama berkarier di dunia mode, Melie percaya bahwa Indonesia memiliki kekayaan serat alam yang tak kalah berkualitas, seperti rami, serat nanas, dan sutra.
Berangkat dari keresehannya, Melie pun merintis KaIND, sebuah brand fashion yang tidak hanya menawarkan estetika, tetapi juga mengusung keberlanjutan dan mengangkat potensi lokal. Melalui KaIND, Melie ingin membuktikan bahwa bahan-bahan alami dari Indonesia dapat bersaing di industri fashion global, sekaligus menjadi solusi bagi lingkungan.
“Aku ada keresahan pribadi di mana Indonesia sampai saat ini 99% fashion kita masih impor. Kalau bicara fashion, kita bicara mulai dari seratnya, benangnya, kainnya, semuanya masih 99% impor,” ujar Melie Indarto dalam agenda peluncuran Royale by SoKlin Premium Series yang berlangsung di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Rabu (12/2/2025).
Baca Juga: Berkenalan dengan Tobatenun, Brand Lokal Milik Anak Luhut Binsar Pandjaitan
“Padahal di Indonesia banyak serat dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk fashion, seperti serat rami, serat nanas (dari daun nanas), bahkan daun pisang pun bisa jadi baju,” tambahnya.
Di samping itu, ada filosofi unik dari pemilihan nama “KaIND” dari brand yang dirintis. Bisa dikatakan, brand ini memiliki makna ganda, di mana mengangkat kekayaan tekstil Indonesia sekaligus membawa restu keluarga dalam setiap langkah perjalanannya.
“Nama aku Meli Indarto. Jadi aku ingin memasukkan unsur nama keluarga ke dalam brand ini. "Indarto" ada di dalamnya, lalu juga ada kata "kain" yang identik dengan fashion. Jadi KaIND terasa pas sebagai nama brand yang juga mencerminkan budaya Indonesia,” tuturnya.
Berangkat dari Komunitas
Sebelum menjadi brand, Melie mengaku mulai merintis dari sebuah komunitas yang bekerjasama dengan pengrajin tenun dan batik pada 2015 silam. Selama dua tahun pertama, Melie fokus menyamakan visi dan misi dengan tim, karena ia percaya bahwa membangun KaIND bukanlah perlombaan sprint, melainkan lari maraton yang membutuhkan strategi jangka panjang.
Melie membimbing timnya agar memiliki pemahaman yang sama, terutama dalam hal etos kerja. Berasal dari Pasuruan, Melie menyadari bahwa ritme kerja di sana berbeda dengan di Jakarta, lebih lambat dan santai dibandingkan budaya kerja yang lebih cepat di ibu kota.
Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan kecepatan kerja tanpa mengorbankan kesejahteraan mental timnya. Oleh karena itu, ia memastikan bahwa standar operasional (SOP) dan etos kerja mereka selaras.
Setelah dua tahun proses penyesuaian tersebut, KaIND akhirnya resmi menjadi badan usaha pada tahun 2017 dan mulai memperkenalkan produknya ke pasar Jakarta serta Bali melalui berbagai pameran.
Manfaatkan Bahan dari Alam
Melalui KaIND, Melie ingin membuktikan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa, salah satunya sutra Eri, jenis sutra unik yang dihasilkan oleh ulat yang memakan daun singkong. Berbeda dari sutra konvensional, sutra Eri dikenal lebih kuat, bernapas, dan memiliki kilau alami yang elegan.
“Biasanya, ulat sutra dibunuh hidup-hidup di dalam kepompong untuk mengekstrak seratnya. Tapi sutra Eri berbeda. Kami bisa membuka kepompong satu per satu saat pupa-nya sudah mature, sehingga tetap bisa berkembang menjadi ngengat sutra,” jelas Melie.
“Setelah ngengat keluar, kepompong kosongnya baru diproses. Kami merebusnya dan menggilingnya untuk menghasilkan serat sutra yang sangat lembut dan bisa digunakan untuk pakaian,” tambahnya.
Keunggulan utama sutra Eri dibandingkan sutra biasa terletak pada kelembutannya dan praktik produksinya yang lebih etis. Berbeda dengan sutra konvensional yang memerlukan proses pemanenan dengan membunuh pupa di dalam kepompong, sutra Eri memungkinkan kepompong dipanen tanpa harus mengorbankan ulat sutra di dalamnya.
Selain itu, proses produksinya jauh lebih sederhana dan tidak membutuhkan lingkungan industri yang steril seperti pada budidaya sutra biasa. Sutra Eri dapat dikembangkan langsung di rumah-rumah petani dengan menggunakan rak bambu atau kayu sederhana.
Baca Juga: Inovasi Berkelanjutan, Peluncuran Batik dengan Lilin Berbasis Kelapa Sawit
“Di tempatku di Pasuruan, juga di Bali, Malang, dan sekitarnya, rumah-rumah petani bisa langsung membudidayakan ulat sutra dan hasil panennya tinggal disetorkan ke KaIND untuk diolah lebih lanjut menjadi benang,” terang Melie.
Selain bahan alami, KaIND juga menerapkan pewarnaan dengan bahan natural seperti kulit kayu mahoni untuk warna coklat, kayu secang untuk warna pink, dan indigofera untuk warna biru. Pendekatan ini tentunya sejalan dengan tren sustainable fashion yang diprediksi semakin berkembang pada 2025.
Menurut Melie, konsumen kini semakin sadar akan gaya hidup berkelanjutan, termasuk dalam fashion sehari-hari. Namun, masih ada hambatan, terutama dalam ekosistem yang belum sepenuhnya terbentuk dan harga yang dianggap lebih tinggi dibandingkan produk konvensional.
Tawarkan Harga Affordable
Melie memilih Jakarta dan Bali sebagai pasar utama KaIND karena produk berbahan serat alam masih tergolong niche. Ekosistem industri ini di Indonesia belum sepenuhnya terbentuk, sehingga KaIND harus menjalankan peran sebagai penghubung berbagai elemen produksi, dari pengrajin hingga konsumen.
Beruntungnya, di Pasuruan sudah ada ekosistem yang mendukung, di mana para penenun, pembatik, serta pengelola serat sutra berada dalam satu wilayah, sehingga proses produksi lebih efisien tanpa perlu berpindah ke berbagai daerah. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam pembuatan benang yang ekosistemnya belum berkembang.
Oleh karena itu, Melie masih membutuhkan dukungan dari rekan-rekan senior dalam mengelola serat sutra agar bisa diproses lebih optimal. Proses inilah yang membuat harga produk berbahan serat alam umumnya lebih tinggi. Meski begitu, KaIND tetap berusaha menjaga harga produknya agar tetap terjangkau.
“Sebisa mungkin masih affordable, masih reachable. Harga yang kami tawarkan juga di bawah Rp1 juta semua. Bahkan start dari Rp200 ribu seperti scarf tenun. Jadi enggak yang juta-jutaan kita udah bisa mempunyai produk hasil handmade dari Pasuruan dengan bahan 100% organik,” imbuh Melie.
Selain scarf, produk yang dihasilkan KaIND di antaranya adalah pakaian, sepatu, dan sandal, yang juga dijual dengan harga di bawah satu juta rupiah.
Baca Juga: Deretan Artis yang Punya Usaha di Bidang Fashion
Strategi KaIND Meningkatkan Kesadaran Konsumen Terhadap Fashion Berkelanjutan
Diakui Melie, KaIND mengandalkan pendekatan alami dan kolaboratif tanpa strategi pemasaran yang agresif. Salah satu cara utama untuk memperluas edukasi ini adalah dengan bekerja sama dengan berbagai pihak, baik media maupun sektor swasta.
Seperti halnya berkolaborasi dengan SoKlin memberikan peluang besar bagi KaIND untuk memperkenalkan produk tenun asli kepada lebih banyak orang.
Melalui inisiatif seperti ini, konsumen tidak hanya mendapatkan scarf tenun, tetapi juga memahami bahwa produk tersebut benar-benar dibuat dengan teknik tenun tangan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hal ini membantu menghilangkan stigma bahwa kain tenun ATBM selalu kasar atau tebal.
“Jadi memang perlu langkah kolaboratif untuk create awareness ini,” imbuhnya.