Pernikahan ‘Prihatin’: Sederhana, tapi Penuh Makna

Dengan adanya Dee di Bandung, Ciputra pun lantas tersadar akan satu hal penting. Ia dan Dee sudah tak lagi sekadar sepasang kekasih yang terpisah oleh waktu dan jarak. Kini, mereka telah berada di kota yang sama. Sudah saling mencintai. Sama-sama bekerja. Dan perlahan mulai membangun masa depan.

“Sebenarnya apa lagi yang kami tunggu “Gaji kami sangat cukup untuk makan dan hidup secukupnya. Gaji akan terus berkembang karena kami akan terus bekerja keras. Jadi, saya ingin segera menikahi Dee,” paparnya.

Gagasan itu awalnya mengejutkan Dee, tetapi ia tak menolak. Cinta yang sudah mereka pupuk selama bertahun-tahun tak butuh banyak alasan untuk dirayakan dalam bentuk yang lebih sakral.

Tak menunggu lama, Ciputra segera mengirim kabar ke dua tempat penting, yakni ke Manado, yang tak lain kampung halaman Dee, dan Parigi, tempat ibunya tinggal. Reaksi dari kedua pihak datang lebih cepat dari yang diduga: restu dan persetujuan mengalir tanpa ragu.

“Tak dinyana ungkapan persetujuan muncul dengan cepat. Bagi mereka, kami memang sudah berjodoh, dan alangkah lebih baiknya jika diresmikan segera,” kenangnya.

Tanpa menunggu waktu, Ciputra mulai menyiapkan pernikahan. Namun dalam benaknya, tak ada pesta mewah, tak ada perayaan besar.

“Bukan, bukan pesta. Tidak ada sama sekali dalam benak saya niat untuk menggelar pesta. Uangnya dari mana? Saya hanya berpikir kami bisa menikah secara resmi. Itu saja. Itu sudah sangat luar biasa,” tukas dia.

Maka, pada paruh kedua tahun 1954, di sebuah kantor Catatan Sipil di Jalan Dago, Bandung, Ciputra dan Dee pun resmi mengikat janji suci. Tak ada pesta, tak ada gemerlap, bahkan tak ada musik pengiring. Hanya dua anak manusia yang yakin bahwa mereka ingin melangkah bersama, apapun yang terjadi.

“Saat itu saya mengenakan kemeja dan celana panjang yang rupanya paling lumayan. Dee mengenakan gaun sederhana yang manis,” tutur Ciputra.

Menurutnya, itulah hari yang mengubah hidup mereka. Bukan karena kemeriahan atau ucapan selamat dari banyak orang, tapi karena sejak saat itu, mereka bukan lagi dua orang yang saling mencintai dari kejauhan, melainkan pasangan suami-istri yang benar-benar berjalan dalam satu arah.

“Tak ada kemeriahan apa-apa. Tidak juga ada semburat istimewa yang mengisyaratkan sebuah perayaan. Usai menjalani peresmian pernikahan di Catatan Sipil, kami menuju rumah kos saya,” terang Ciputra.

Beberapa hari setelah menikah, Ciputra pun berhasil mendapatkan rumah kontrakan mungil di Jalan Cikapayang Nomor 3. Sebuah rumah tua peninggalan Belanda berwarna putih tulang. Rumah itu adalah tipe vebe, rumah sewa khas zaman kolonial yang dibagi untuk dua keluarga.

“Rumah itu disewakan pada dua keluarga. Jadi, ada dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi untuk kami, namun ruang tamu dan ruang makan bercampur dengan keluarga penyewa yang lain,” terangnya.

Namun, keberuntungan masih berpihak kepadanya. Penyewa lain tersebut bukan keluarga besar, melainkan seorang pria paruh baya berdarah Cekoslowakia bernama Mister Pelikan. Hal ini pun memberi mereka cukup ruang untuk menikmati kehidupan baru sebagai pasangan.

Dan yang lebih menggembirakan, rumah itu memiliki pekarangan yang cukup lapang. Sebidang kecil tanah yang bagi Ciputra dan Dee bukan sekadar halaman, tapi ruang untuk bernapas, bercita-cita, dan membayangkan masa depan.

“Hunian yang bagi orang lain adalah tempat sederhana ini, bagi kami terasa bagai bangunan mewah,” ujarnya.

Itulah awal pernikahan mereka. Tak ada bulan madu, tak ada istirahat panjang dari rutinitas. Ciputra tetap kuliah dan bekerja keras, sementara Dee kembali bekerja di toko makanan dan minuman milik keluarga Belanda. Tapi satu hal berubah secara mendalam, yaknihati yang dulu merindukan, kini telah menemukan tempatnya.

“Kami sudah menikah! Dee telah resmi menjadi istri saya. Tiada hal emosional yang mewarnai hari-hari awal pernikahan kami. Tapi satu hal yang membedakan rasa saya adalah kebahagiaan tiada tara karena akhirnya saya sungguh-sungguh memiliki Dee dalam arti yang sebenarnya,” pungkas Ciputra.

Baca Juga: Mengulik Potret Kecil Ir. Ciputra: dari Luka dan Trauma Menjadi Legenda Properti Indonesia