Tentang Sepasang Hati yang Tak Menyerah
Di tengah hiruk-pikuk kuliah dan kerasnya hidup merantau, Ciputra muda pun membangun mimpinya pelan-pelan, bukan hanya tentang masa depan, tetapi juga tentang cinta. Cinta yang tak hanya hadir dalam kenangan atau surat, tapi cinta yang ingin ia hadirkan secara nyata di sampingnya, yakni Dee, sang kekasih.
“Saya giat mencari uang untuk hidup sederhana dan kuliah. Selain berjualan batik, saya juga mencoba mendesain perabotan rumah tangga dan menjualnya. Kecil-kecilan saja, tapi menghasilkan uang,” ungkapnya.
Dikatakan Ciputra, setiap rupiah yang didapatnya bukanlah hasil yang datang mudah. Makan pun sering dikurangi. Menahan lapar di ruang kuliah menjadi bagian dari ritme hariannya.
“Makan saya minim sekali. Menahan lapar di dalam ruang kuliah sudah menjadi napas hidup saya,” ujar Ciputra.
Namun di tengah perjuangan itu, hatinya tak berhenti memikirkan Dee yang jauh di Manado. Ia pun merasakan rindu yang tak lagi bisa dibendung, yang membuatnya merenung dalam-dalam.
“Saya pikir, untuk apa merentang lagi waktu yang panjang, menunggu saya lulus kuliah? Artinya kami baru akan kembali dekat setelah empat atau lima tahun lagi. Akan terjadi apa di dalam waktu yang cukup lama itu? Saya tak mau kehilangan Dee,” tegas Ciputra.
Maka satu keputusan besar pun dibuat. Ia ingin memanggil Dee datang ke Bandung, sebuah keputusan yang pada akhirnya mengubah arah hidup mereka berdua.
“Bandung juga bisa menjadi kota menarik bagi Dee untuk mengembangkan kariernya. Kota ini jauh lebih hidup dibanding Manado. Dee tidak akan menganggur di kota ini. Ada banyak kesempatan kerja,” bebernya.
Ciputra tahu bahwa kemungkinan ia kembali ke Manado sangat kecil. Pulau Jawa akan menjadi tanah masa depannya. Maka ia tak ingin menunda sesuatu yang pada akhirnya akan terjadi juga, yaitu hidup bersama dengan Dee, memulai perjuangan dari titik yang sama.
“Kau sudah bisa segera ke kota ini, Dee. Saya akan mencarikan kos untukmu, juga membantumu mencari pekerjaan,” tulisnya dalam surat yang penuh harap.
Dan, jawaban Dee pun dirasanya mantap. Dee menyambut ajakan Ciputra tanpa ragu. Dan, dua tahun setelah kuliah dimulai, Ciputra pun merasa cukup percaya diri untuk memboyong kekasihnya ke Bandung.
“Saya percaya diri untuk mengajak Dee tinggal di Bandung. Ia akan menyukai kota ini. Keyakinan saya begitu .Saya saja yang laki-laki begitu terpesona pada indahnya kota ini, apalagi Dee. Lagi pula, ia berpendidikan lumayan. Ia tidak akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sini,” terangnya.
Ketika Dee Tiba di Bandung
Di tengah kesibukannya kuliah dan bekerja, Ciputra mempersiapkan sesuatu yang sangat personal dan membahagiakan, yakni menyambut kedatangan orang yang ia cintai. Setelah lama terpisah jarak, akhirnya Dee, kekasihnya yang selama ini hanya hadir lewat surat-surat dan doa-doa lirih, akan segera datang ke Bandung.
"Proses keberangkatan Dee tidak lama. Selama ia dalam perjalanan, saya menyiapkan kebutuhannya di Bandung,” ujar Ciputra.
Bandung, menurutnya, pada pertengahan 1950-an, masih penuh dengan rumah-rumah gaya kolonial dan suasana yang asri. Mencari kamar kos bukan hal sulit. Ciputra pun akhirnya menemukan sebuah rumah indekos khusus perempuan dengan harga terjangkau dan kondisi yang layak. Tak hanya itu, ia juga mencarikan beberapa lowongan kerja yang cocok untuk Dee.
“Dee bisa mencoba dan memilih tempat yang ia suka. Kami akan kembali dekat dan pacaran tanpa dipisah jarak. Saya belum tahu apakah kami bisa menikah saat saya masih kuliah atau nanti setelah lulus. Entahlah. Tapi yang pasti, saya ingin dia di dekat saya,” paparnya.
Dan akhirnya, momen yang dinanti pun tiba. Di paruh kedua tahun 1954, Dee datang ke Bandung.
“Dengan senyumnya yang tak berubah, saya memeluknya erat. Kami benar-benar saling merindukan. Dee semakin cantik dan bersinar. Ia dengan sangat riang menuju rumah kos yang telah saya pilihkan untuknya. Ia menyukainya!,” ungkap Ciputra haru.
Menurutnya, Bandung langsung memikat hati Dee. Dengan gaya khasnya yang jenaka, ia berkata sambil mengerling,
“Kota yang cantik. Dan banyak gadis cantik. Keputusanmu tepat mengajakku ke sini segera,” ujar Ciputra, seraya menirukan perkataan Dee kala itu.
Setibanya di Bandung, Ciputra pun langsung membawa kekasihnya berkeliling kota dengan sepeda ontel. Berboncengan menyusuri jalanan Bandung yang sejuk dan rindang menjadi momen yang tak terlupakan bagi mereka berdua.
“Suara kekagumannya terus tercetus selama kami berkeliling,” kenangnya.
“Kau tak salah memilih kota ini. Benar-benar kota yang cantik!,” seru Dee berulang kali.
Menurut Ciputra, bukan hanya suasana yang membuat Dee betah. Meski sempat merindukan masakan Manado, yang tak mudah ia temukan di Bandung, Dee perlahan mulai menikmati masakan sederhana buatan pembantu rumah tangga mereka, meski hanya tahu dan tempe.
“Dee tak bisa memasak. Tapi ia belajar beradaptasi dan ternyata bisa. Ia punya semangat yang luar biasa,” tukasnya seraya tertawa kecil.
Dee pun tak menunggu lama untuk mencari pekerjaan. Dari beberapa opsi yang disiapkan Ciputra, ia tertarik pada lowongan di sebuah kedai makanan dan minuman, hanya 200 meter dari rumah kosnya yang dimiliki seorang warga Belanda. Posisi yang ditawarkan: bagian pembukuan.
“Barangkali karena penampilannya yang luwes dan cantik, ditambah ijazahnya, ia dengan sangat mudah diterima. Betapa mulusnya! Gajinya pun cukup baik, cukup untuk membiayai kos, makan, dan bahkan sedikit menabung,” cerita Ciputra.
Bagi Ir. Ciputra, kehadiran Dee di Bandung bukan sekadar pertemuan dua insan yang lama terpisah oleh jarak. Namun, itu adalah momen pemulihan, kebahagiaan, dan pembuktian bahwa cinta bisa tumbuh subur di tengah kesederhanaan dan kerja keras.
“Keberadaan Dee di Bandung benar-benar membuat saya bersuka cita. Kesibukan CV Daya Tjipta sudah cukup hidup, walau kami masih berselancar dengan proyek-proyek sederhana. Tidak masalah, yang penting saya punya penghasilan,” terangnya.
Dee, di sisi lain, kata dia, semakin menikmati kehidupannya di Kota Kembang. Toko tempatnya bekerja berkembang dengan baik, dipenuhi pelanggan, dan memberikan rasa bangga. Ia yang memang supel dan hangat, cepat menjalin pertemanan dan merasa betah.
“Saya lega melihat perkembangannya. Ia mencintai pekerjaannya, dan saya tahu ia mulai mencintai kota ini juga,” tukas Ciputra.
Dikatakannya, Bandung pun menjadi latar indah bagi masa pacaran mereka. Mereka menjelajahi taman-taman cantik, melewati Gedung Sate, dan menghabiskan waktu berdua dengan cara yang sangat sederhana, seperti berjalan-jalan, berbagi cerita, dan tertawa.
Namun, lanjut Ciputra, romansa itu tidak selalu tanpa kejutan.
“Tahu apa yang terjadi? Kami diperas dan dimintai uang di beberapa tempat. Jadi kami buru-buru keluar daripada harus membayar. Rupanya banyak spot menarik di Bandung memberlakukan aturan itu, termasuk kebun binatang. Setengah geli kami menggerutu,” bebernya.
Baca Juga: Kisah Perantauan, Persahabatan, dan Awal Mula Mimpi Besar Ir. Ciputra di ITB