Benang Merah Festival (BMF) 2025 akan berlangsung dari tanggal 15-24 Juli 2025 di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan beberapa lokasi lain di Jakarta. Festival yang diinisiasi oleh Komunitas KAHE dan Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini berkolaborasi dengan Jakarta International Contemporary Dance Festival (JICON).

Benang Merah Festival 2025 akan menyajikan pertunjukkan tari, musik, kelas publik, bazar dan pameran karya, pemutaran dan diskusi film, serta diskusi publik.

Baca Juga: Pacu Jalur Viral di Dunia, AirAsia MOVE Ajak Traveler Jelajahi Festival Perahu Dayung Nusantara

Baca Juga: Memperkenalkan Sejarah, Sekolah Pilar Indonesia Gelar Teater Bertajuk Bung Hatta Sang Pelopor

BMF 2025 merupakan ruang perjumpaan terbuka bagi warga, komunitas, dan gerakan dari berbagai sudut Indonesia, yang selama ini bekerja menjaga dan memperluas ruang sipil-politik melalui seni, gagasan, dan solidaritas.

Benang Merah Festival 2025 menggunakan 'Koreografi Sosial' sebagai paradigma maupun lensa kerja.

Ko-direktur Benang Merah Festival 2025, Eka Putra Nggalu menyebutkan, program-program di Benang Merah Festival 2025 membuka percakapan dan mengupayakan terciptanya ruang percakapan yang terbuka dan setara dalam melihat kembali dinamika sosial politik kota melalui ragam ekspresi ketubuhan, seni, dan budaya.

Seluruh program BMF 2025 dikerjakan dalam spirit ‘Suar Suara dari Pinggir’ sembari mengusung tema ‘Kebahagiaan Kolektif’ sebagai wacana festivalnya.

“Benang Merah Festival 2025 mengajak kita menenun beragam lapisan pengalaman atas berbagai tubuh dan gerak, atas setiap pengetahuan dan fenomena yang bergerak di sekeliling kita,” tegas Rebecca Kezia, kurator BMF 2025.

BMF 2025 juga dirancang sebagai platform kolaboratif dan interaktif, menggabungkan forum kreatif, pertunjukan seni, pemutaran film, kegiatan memasak interaktif, hingga tur jalan kaki sebagai bagian dari ekspresi koreografi sosial. Beberapa program yang akan dilaksanakan dalam BMF 2025 di antaranya:

Forum "Kebahagiaan Kolektif" bersama Hilmar Farid, Saras Dewi, dan Eka Putra Nggalu — membedah makna kebahagiaan dalam konteks perjuangan dan kehidupan warga.

“Dari Kebun ke Meja” oleh Mama Fun (NTT) dan Yudi A. Tajudin — menyatukan pengalaman memasak, berbagai cerita, dan makan bersama sebagai ruang kontemplasi atas rasa dan relasi antarwarga.

“Walking Art: Lintasan Prasangka” — tur koreografi sosial dari Cikini menuju Depok, dipandu oleh Ibe S. Palogai dan Aisyah Ardani, sebagai bentuk seni berjalan kaki dan menyusuri kota.

Pemutaran film seperti “Altares” karya Brenda Vanegas dan film klasik “Dr. Samsi” hasil digitalisasi arsip Liarsip, dilanjutkan dengan diskusi reflektif.

Pertunjukan tari dan musik seperti “A Brief History of Dance” oleh Ary Dwianto, “Torso” oleh Ayu Permata Dance Project, serta “Kabata Tamasula” oleh Konstelasi Artistik Indonesia.

Setiap program dirancang untuk partisipasi publik, menjunjung inklusivitas dan keberagaman pengalaman, tanpa memusatkan perhatian pada satu panggung tunggal. Semua ruang festival menjadi milik bersama, tempat keberanian, kepekaan sosial, dan solidaritas dirayakan.