Wacana redenominasi rupiah atau penyederhanaan nilai mata uang kembali mencuat. Kali ini, isu tersebut muncul setelah Kementerian Keuangan di bawah pimpinan Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa, merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025–2029.
Dalam beleid yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025 dan diundangkan 3 November 2025 itu, salah satu agenda strategis yang tercantum adalah penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi, dengan target penyelesaian pada 2026–2027.
Namun, wacana ini belum sepenuhnya mendapat lampu hijau dari pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah belum memiliki rencana konkret untuk menerapkan redenominasi.
“Oh iya nanti kita lihat, sejauh ini belum, belum ada rencana,” tutur Airlangga, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025), dikutip dari CNBC Indonesia.
Ketika ditanya apakah sudah ada pembahasan dengan pihak Kementerian Keuangan, Airlangga menjawab singkat.
“Belum ada pembicaraan,” tukas Airlangga.
Apa Itu Redenominasi Rupiah?
Dikutip dari Kompas.com, redenominasi adalah penyederhanaan nilai nominal mata uang dengan menghapus beberapa angka nol di belakangnya, tanpa mengubah nilai uang secara riil atau daya beli masyarakat.
Contohnya, Rp1.000 sebelum redenominasi akan menjadi Rp1 setelah redenominasi, namun nilai barang maupun jasa tetap sama. Tujuan utamanya adalah efisiensi transaksi, kemudahan pencatatan keuangan, serta peningkatan kredibilitas mata uang nasional.
Dalam PMK 70/2025, Kementerian Keuangan menilai redenominasi penting untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional, mempertahankan kestabilan nilai rupiah, serta memperkuat kredibilitas dan daya saing rupiah di mata internasional.
Adapun, penanggung jawab penyusunan RUU Redenominasi adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan.
Selain RUU Redenominasi, Kemenkeu juga mengusulkan tiga RUU lain, yaitu RUU tentang Perlelangan, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara, dan RUU tentang Penilai.
Jejak Panjang Wacana Redenominasi di Indonesia
Sebenarnya, wacana redenominasi bukan hal baru. Dikutip dari Inilah.com, gagasan ini pertama kali muncul pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Januari 2011.
Saat itu, Darmin Nasution, yang menjabat sebagai Pjs Gubernur Bank Indonesia, mengusulkan agar penyederhanaan nilai rupiah dilakukan secara bertahap tanpa mengubah daya beli masyarakat.
“Dalam redenominasi nilai uang terhadap barang (daya beli) tidak akan berubah, yang terjadi hanya penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka nol,” ujar Darmin kala itu.
Presiden SBY kala itu menyambut baik gagasan tersebut dan bahkan menunjuk Wakil Presiden Boediono sebagai Ketua Tim Koordinasi Redenominasi.
Rencana tersebut sebenarnya sudah memiliki tahapan yang cukup jelas. Pada periode 2011–2012 direncanakan sebagai masa sosialisasi kepada masyarakat untuk mengenalkan konsep redenominasi dan dampaknya.
Selanjutnya, tahun 2013–2015 ditetapkan sebagai masa transisi, di mana uang lama dan uang baru beredar bersamaan. Tahap berikutnya, pada 2016–2018, dijadwalkan sebagai periode penarikan uang lama dari peredaran.
Adapun fase terakhir, yakni tahun 2019–2022, merupakan masa penghapusan tanda redenominasi pada uang baru hingga seluruh sistem moneter sepenuhnya menggunakan nominal yang telah disederhanakan.
Namun, meski sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013, pembahasan RUU ini tak kunjung terealisasi hingga masa pemerintahan SBY berakhir.
Dan, wacana ini sempat kembali muncul di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2017. Namun, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, saat itu memutuskan untuk menunda karena belum menjadi prioritas.
Baca Juga: Ramuan Ajaib Purbaya Sembuhkan Industri Tekstil yang Mati Suri