Negara-negara yang Pernah Melakukan Redenominasi

Sebagai informasi, Indonesia bukan satu-satunya negara yang membahas redenominasi. Dikutip dari Tribunnews, beberapa negara di kawasan Asia Tenggara juga pernah melakukan redenominasi mata uangnya.

Vietnam, misalnya, melaksanakan kebijakan tersebut pada tahun 1985 sebagai bagian dari reformasi ekonomi untuk menekan laju inflasi yang tinggi.

Laos juga melakukan redenominasi lebih awal, yakni pada tahun 1976, setelah terjadi pergantian rezim politik, di mana satu kip (mata uang Laos) baru ditetapkan setara dengan seratus kip lama.

Kemudian, Kamboja menjalani reformasi dan penyederhanaan nilai mata uangnya pada era pascaperang tahun 1955, yang kemudian disusul dengan penataan kembali sistem keuangan nasional pada dekade 1970-an.

Sementara itu, negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Myanmar masih mempertahankan nominal mata uangnya tanpa redenominasi.

Respons Pengamat

Terkait wacana redenominasi rupiah tersebut, sejumlah pihak mulai menyampaikan pandangannya. Salah satunya adalah Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede. Josua menegaskan bahwa redenominasi berbeda dengan pemotongan nilai uang.

“Redenominasi hanya memangkas digit, bukan memangkas nilai, sehingga bersifat netral terhadap inflasi bila prasyaratnya dipenuhi,” tutur Josua, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Senin (10/11/2025).

Josua menjelaskan, penyederhanaan nominal rupiah dapat meningkatkan efisiensi transaksi dan pencatatan, serta menghemat biaya percetakan uang dalam jangka panjang.

Namun kata dia, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi makro, seperti inflasi yang terkendali, nilai tukar stabil, ekspektasi harga yang terjaga, serta situasi sosial politik yang kondusif.

Ia pun menegaskan, kebijakan ini sebaiknya dipahami sebagai langkah penataan ekonomi, bukan solusi untuk menekan harga atau memperbaiki kurs.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi, Benny Batara, menilai, redenominasi justru bisa menjadi langkah efektif mencegah praktik korupsi dan memperluas basis pajak.

Menurutnya, kebijakan ini akan membuat transaksi tunai besar semakin berkurang dan mendorong masyarakat menggunakan sistem pembayaran digital yang lebih transparan.

“Sudah jelas makin susah korupsi. Orang mulai bertanya-tanya, ‘Lu bawa duit cash ke mana?’,” kata Benny dalam tayangan di Channel YouTube SINDOnews, Sabtu (8/11/2025), dikutip dari Surya.co.id.

Benny juga mencontohkan praktik di negara-negara Eropa, di mana transaksi tunai dalam jumlah besar dianggap mencurigakan.

Ia menilai, dengan sistem keuangan yang lebih terintegrasi, transaksi ekonomi di Indonesia bisa lebih mudah dilacak dan diawasi, sehingga potensi kehilangan pendapatan negara dari pajak bisa ditekan.

Pandangan sedikit berbeda datang dari Arianto Muditomo, Pengamat Perbankan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) sekaligus praktisi sistem pembayaran.

Ia menilai, redenominasi bukanlah langkah mendesak secara ekonomi, namun tetap penting untuk penyederhanaan sistem moneter dan memperkuat citra stabilitas rupiah di mata publik.

Dikutip dari Bloomberg Technoz, Arianto mengingatkan bahwa proses transisi perlu diantisipasi secara matang agar tidak menimbulkan kebingungan publik dan gangguan teknis di sektor perbankan.

“Koordinasi dengan BI, OJK, dan asosiasi perbankan penting agar transisi berjalan lancar tanpa menurunkan kepercayaan publik,” pungkasnya.

Baca Juga: Saran Ajib Hamdani untuk Penguatan Nilai Tukar Rupiah: Harus Ada Jalan Tengah!